Presidential Threshold Dalam Optik Demokrasi
Panji Al Islami, S.H. Ketua Firma Banyuasin III--Panji
Panji Al Islami, S.H.
Ketua Firma Banyuasin III
PANGKALAN BALAI, HARIANBANYUASIN.COM - Konsep demokrasi dalam konteks prinsip bernegara yang meletakkan kedaulatan rakyat sebagai pondasi pembangunan idealisme bernegara secara demokratis.
Artinya, rakyat menjadi titik utama fokus pemerintah dalam memberikan manfaat secara material dan fungsi pengawasan secara transparan terhadap berjalannya negara oleh rakyat terhadap pemerintah.
Paradigma berdemokrasi di masa reformasi dalam tatanan proses penyelenggaraan Pemilihan Umum (Pemilu) cenderung tidak mengutamakan pemisahan kekuasaan sehingga terjadinya hegemoni dan ketimpangan tugas dan wewenang setiap lembaga negara.
BACA JUGA:Republik Wajah Monarki
BACA JUGA:Corak Pemilu Yang Merusak Sistem Demokrasi Yang Berkeadilan
Hal ini dibuktikan dengan masih adanya konsep pemilu dengan sistem Threshold yang kemudian juga membatasi hak setiap warga negara.
Yang memiliki kompetensi kepemimpinan dan berintegritas tidak dapat atau bahkan dikunci secara normatif oleh peraturan perundang-undangan atas pembatasan tersebut.
Prinsip pemilu dengan sistem presidential threshold, telah dilaksanakan semenjak bergantinya masa reformasi, yaitu berawal mula sejak pemilu 2004.
Presidential threshold dengan ambang batas 20% terkonfirmasi dalam Pasal 222 UU No. 7 Tahun 2017 yang berbunyi
"Pasangan calon diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25 persen dari suara sah secara nasional pada pemilu anggota DPR sebelumnya”.
Pasal ini kemudian telah diajukan Judicial Review(Uji Materil) ke Mahkamah Konstitusi (MK), tetapi dalam putusannya Nomor 52/PUU-XX/2022.
MK tetap pada pendiriannya bahwa presidential threshold tidak bertentangan dengan UUD NRI 1945.
BACA JUGA:Cara Islam Mewujudkan Rasa Aman
BACA JUGA:Abu Ubaidah Idola Masa Kini, Bolehkah?
Padahal secara jelas-jelas rumusan Pasal 222 tersebut telah melukai konsekuensi negara yang bersistem demokrasi konstitusional.
Pembatasan tersebut pada prinsipnya telah membatasi ruang bagi pasangan calon lain diluar pengusung DPR tidak dapat mencalonkan atau dicalonkan.
Dan ini telah melanggar konstitusi yang mengatakan bahwa setiap warganegara berhak dan atau ikut serta dalam kegiatan politik atau partisipasi politik terbuka.
Menurut Saldo Isra (2018) di dalam bukunya yang berjudul "Pergeseran Fungsi Legislasi", mengatakan bahwa yang menjadi ciri khas dari pada sistem presidensial adalah untuk menjadi presiden tidak boleh menggantungkan dukungan politik dari lembaga legislatif.
BACA JUGA:Zillenials, Cermat Sebelum Mencari Tontonan
BACA JUGA:Hilangnya Rasa Aman
Faktanya sekarang di masa pemilu di era reformasi bahwa pemilu legislatif disandingkan dengan pilpres, yakni pemilu legislatif dijadikan prasyarat untuk pelaksanaan pilpres.
Padahal logikanya, dua lembaga tersebut adalah lembaga paralel, dimana keduanya dipilih langsung oleh rakyat atau dimandatkan langsung pada pemilih.
Lagipula Presiden adalah lembaga eksekutif, DPR adalah Lembaga legislatif yang kemudian secara terpisah mempunyai ruang politik yang berbeda-beda.
Penggabungan demikian memungkinkan terjadinya hegemonial antar lembaga negara yang kemudian saling memberikan pengaruh kepentingan individu dibawah kepentingan lembaga.
Bahkan menurut Miriam Budiardjo (2008) kedudukan eksekutif lebih kuat ketimbang menghadapi menteri-menteri dan lembaga legislatif.
Sehingga dengan itulah terlihat kebijaksanaan presiden dalam menunjuk menteri sebagai pembantu dalam kabinet.
Maka dari itu kedudukan eksekutif dianggap superior dibawah legislatif, kemudian menurut Ni'matul Huda (2017) ketika nanti ada sengketa atau perselisihan antar kedua lembaga tersebut, maka lembaga yudikatif yang akan menyelesaikan.
Penjelasan singkat diatas dapat dipahami bahwa, berjalannya sistem demokrasi dalam kontestasi pemilu selalu akan diwarnai ketidakseimbangan.
Dengan prinsip awal cita-cita bangsa yang mengedepankan demokrasi konstitusional tetapi masih mengedepankan sistem pemilu dengan metode presidential threshold.
Maka apabila ingin demokrasi konstitusional berjalan sebagaimana mestinya, tercapainya persamaan politik setiap warga untuk mencapainya, haruslah dihilangkan sistem presidential threshold demi tercapainya cita demokrasi Pancasila.*
Sumber: