Pemimpin Amanah dalam Memegang Amanat

Pemimpin Amanah dalam Memegang Amanat

Eva Agustina--

Oleh: Eva Agustina

Menjelang pemilu 2024, dua menteri kabinet Presiden Joko Widodo ikut berpatisipasi dalam pilpres 2024 mendatang. keduanya adalah menteri koordinator politik, hukum, dan keamanan, Mahfud MD, yang menjadi cawapres Ganjar Pranowo. Kemudian Menteri Pertahanan, Prabowo Subianto, yang menjadi capres berpasangan dengan Gibran Rakabumin yang merupakan putra dari Presiden Joko Widodo. 

Ada pengamat yang mengatakan bakal calon presiden maupun calon wakil presiden yang masih berstatus sebagai menteri, tidak perlu mundur dari jabatannya selama mendapat izin dari presiden untuk cuti. 

Di sisi lain, bukankah hal ini malah akan membuka peluang penggunaan fasilitas negara dalam kampanye  pemilu 2024? Apalagi jika kontestan merupakan seseorang yang masih menjabat.

BACA JUGA:Rakyat Sibuk Berjibaku, Elit Partai Hanya Duduk Menunggu

Penyalahgunaan fasilitas negara merupakan modus yang sering digunakan oleh pejabat pemerintah saat pelaksanaan pemilihan umum. Wewenang dan kekuasaan yang melekat pada pejabat pemerintah berpotensi besar digunakan untuk kepentingan pribadi agar menang dalam pemilihan umum.

Meski UU No.7 Tahun 2017, membatasi pejabat pemerintah menggunakan fasilitas negara, akan tetapi terdapat dua kondisi yang memungkinkan pejabat pemerintah untuk menggunakan fasilitas negara dalam bentuk penggunaan gedung.

Tertuang dalam peraturan perundang-undangan jika gedung atau fasilitas milik pemerintah dimungkinkan untuk disewakan kepada umum, maka sarana tersebut boleh digunakan oleh pejabat pemerintah untuk kampanye. Walaupun ini seolah bertentangan dengan aturan yang ada.

BACA JUGA:Melahirkan Generasi Anti Bullying, Mungkinkah?

Penyalahgunaan kekuasaan  atau abuse of power adalah fenomena yang biasa terjadi dalam sistem demokrasi. Didukung peran KPU yang turut memberikan peluang terjadinya perbuatan tersebut. 

Oleh karenanya seseorang cenderung melaksanakan amanah yang tidak sesuai dengan tugas, akan tetapi sesuai kepentingan hawa nafsu yang tidak mengikuti pokok dan fungsi yang seharusnya dilaksanakan. 

Pemimpin Amanah dalam Islam

Inilah realitas demokrasi yang menetapkan kedaulatan berada ditangan rakyat. Padahal fakta sebenarnya adalah kedaulatan berada ditangan oligarki yang mengatasnamakan rakyat. Selama kedaulatan berada ditangan manusia, sejatinya nafsu manusialah yang berkuasa mengontrol kehidupan. Inilah salah satu dampak dari aturan yang dibuat oleh manusia yang bertentangan dengan Islam.

BACA JUGA:Peran dan Fungsi Air

"Sesungguhnya jabatan (kekuasaan) itu adalah amanah dan pada hari kiamat nanti akan menjadi kehinaan dan penyesalan, kecuali bagi orang yang mengambil amanah itu dengan benar dan menunaikan kewajiban yang ada di dalamnya." (HR Muslim). 

Ketegasan Islam akan pertanggungjawaban di akhirat dapat menjaga setiap orang termasuk calon pejabat untuk taat pada aturan Allah SWT dan Rasul-Nya.

Di dalam Islam, salah satu syarat untuk menjabat yaitu tidak diperbolehkan untuk menjabat apabila ia terikat dalam sebuah partai atau masih dalam status pejabat. Karena, selain bisa berpotensi pengabaian tanggung jawab atas tugas yang diemban, karena sibuk dengan pencalonan juga akan abai terhadap hak-hak rakyat. 

BACA JUGA:Mencerdaskan Kehidupan Bangsa dengan Sistem Pendidikan Islam

Hal ini bisa menjadi salah satu bentuk ketidakadilan yang dilegitimasi oleh negara, apalagi didukung regulasi yang ada. Artinya, ia harus merdeka dulu, tidak terkait dengan partai manapun atau organisasi manapun, sebab ketika seorang pemimpin negara yang terikat dengan suatu partai, juga berpotensi memberi peluang terjadinya keberpihakan atau ketidakadilan dalam mengambil keputusan. 

Selain itu, kriteria seorang pemimpin pun harus memenuhi standar syariat, salah satunya memiliki kriteria atau kemampuan untuk menjadi seorang pemimpin dan disertai aturan yang berkaitan dengan nilai-nilai Islam. 

Ketika agama dikaitkan dengan aktivitas kepemimpinan, maka akan menjadi sebuah entitas yang tidak bisa dipisahkan. Kepemimpinan tidak terlepas dari aturan Allah SWT, maka tidak akan terjadi pertentangan dengan hukum syara', melainkan hukum tersebut akan direalisasikan bahkan diintegrasikan.

BACA JUGA:Tren Konten Flexing, Standarisasi Gaya Hidup Kapitalisme

Begitu juga dalam amanat, seorang pejabat tidak boleh menggunakan fasilitas negara untuk kepentingan pribadi di luar tugas kenegaraan. Sebab, pegawai negara sama halnya seperti pekerja yang diupah. Ia dipercaya untuk mengemban amanah yang diserahkan kepadanya. 

Ia juga diamanati berbagai perlengkapan dan fasilitas untuk melaksanakan tugas-tugas negara, maka tidak boleh fasilitas tersebut digunakan untuk keperluan pribadi dan keluarganya. sebagai contoh, Tempat, kendaraan, alat komunikasi, alat untuk mencatat dll. Apabila fasilitas tersebut dipakai, artinya ia tidak menjalankan amanah dalam memegang amanat. 

Di dalam Islam, amanah dan amanat adalah hal yang sangat penting yang dipikul oleh seorang penguasa. Terkait beratnya pertanggungjawaban seorang penguasa dalam melakukan tugasnya. Dulu, seorang Khalifah Umar bin Abdul aziz, yang biasa bekerja untuk melayani kebutuhan-kebutuhan rakyat sepanjang hari, bahkan kadang sampai larut malam. 

BACA JUGA:Pemuda dan Solusi Tuntas Permasalahan Iklim Global

Suatu sore, ketika urusan sudah selesai, ia meminta istrinya untuk mematikan lampu yang merupakan fasilitas negara lalu menyuruhnya untuk memakai lampu yang dibeli dari hartanya sendiri. Ia tidak mau menggunakan fasilitas negara untuk kepentingan pribadi dan keluarganya, walaupun hanya sekedar cahaya lampu. 

Kemudian ia solat dua raka'at, setelah itu ia duduk merenung sambil berlinang air mata hingga terbit fajar, karena memikirkan dirinya yang diserahi urusan rakyat. Baik yang berkulit hitam, putih maupun merah, ia mengingat orang yang terasing, miskin, kehilangan, fakir yang membutuhkan, tawanan yang tertindas. Ia tahu bahwa Allah SWT pasti akan menanyakan kepadanya tentang mereka (rakyat). Beliau takut Allah tidak menerima alasannya dan tidak ada hujjah bersama Rasulullah SAW.

Inilah salah satu kisah keteladanan pemimpin ketika berada dalam naungan Islam yang tidak pernah ditemukan dalam sistem demokrasi. Sudah saatnya, masyarakat mulai berpikir dan menyadari bahwa hanya dengan mengambil Islam sebagai aturan akan melahirkan solusi fundamental yang nantinya diterapkan kembali dalam sistem pemerintahan. 

BACA JUGA:Jangan Tergoda Pinjol

Sehingga kedaulatan bukan berada di tangan manusia, melainkan berada pada hukum syara' yang bersumber dari Al-Qur'an dan Sunnah. Sehingga, abuse of power yang sejatinya penghianat negara dan rakyat akan bisa dihentikan. Ini pula yang akan melahirkan generasi pemimpin bangsa yang siap menjalankan amanah sebagai Khalifah dengan penuh kesadaran kepada Al-Khaliq.

Wallahua'alam bisshawab*

Sumber: