Corak Pemilu Yang Merusak Sistem Demokrasi Yang Berkeadilan

Corak Pemilu Yang Merusak Sistem Demokrasi Yang Berkeadilan

Panji Al Islami, S.H , Guru dan Pegiat Organisasi--Panji

Pemilihan-pemilihan tersebut menggambarkan sebuah proses elektoral yang dikelola dan dikontrol sangat ketat dari hasil rancangan pemerintah yang kekuasaannya terutama berasal dari dukungan angkatan bersenjata.

BACA JUGA:Julid Mutakhir

BACA JUGA:Palestina dan Kemenangan Islam

Hal ini untuk memperlihatkan keabsahannya kepada rakyatnya dan dunia luar, sementara pada saat kebersamaan menghindari sejauh mungkin pertarungan nyata di antara kekuatan-kekuatan politik yang bersaing.

Di era orde baru, proses pelaksaan pemilu dan pengawas pemilu sangat memihak partai pemerintah sehingga pelaksanaan tugas pelaksana pemilu sangat bias.

Pada masa orde baru juga terdapat kekuasaan yang hegemonik, yaitu diantaranya kekuasaan legislatif dan yudikatif yang cenderung memiliki kesamaan sikap dalam penyelenggaraan pemilu sehingga proses pemilu pada masa orde baru mengalami banyak indikasi kecurangan oleh pihak kekuasaan yang tersistematis.

Demikian halnya tugas penegak hukum yang memiliki kecenderungan disetir oleh pihak penguasa pada masa orde baru sehingga  menjadikan pembangunan ekonomi sebagai tujuan utama yang sangat membutuhkan stabilitas politik.

Sebagaimana doktrin yang dikemukakan Prof. Miriam Budiardjo, bahwa aliran pemikiran demokrasi yang paling penting adalah demokrasi konstitusional, maka ciri khas dari demokrasi konstitusional ialah gagasan bahwa pemerintah yang demokratis adalah pemerintah yang terbatas kekuasaannya dan tidak dibenarkan bertindak sewenang-wenang terhadap negaranya.

Pembatasan-pembatasan kekuasaan pemerintah tercantum di dalam konstitusi, maka dari itu sering disebut pemerintah berdasarkan konstitusi/constitutional government.

Terkait Demokrasi Konstitusional, sistem pemilu dewasa ini pada masa reformasi begitu banyak bias-bias politik dan kepentingan kekuasaan yang mendukung kejahatan nepotisme yang tidak menggambarkan wujud ketaatan etika maupun normative terhadap demokrasi konstitusional.

Utamanya ketika masa politik pemilu 2024, terlihat banyak terjadi hal-hal yang kemudian melanggar norma maupun etika dalam penyelenggaraan pemilu sehingga menimbulkan banyak persepsi masyarakat yang semakin liar dan bahkan berkurangnya keyakinan masyarakat terhadap beberapa lembaga negara.

Kekuasaan Yudikatif, merupakan garda terdepan dalam memberikan pengamanan terhadap proses penyelenggaraan pemilu, baik yang sifatnya preventif maupun represif.

Kendati demikian, dewasa ini terdapat kekuasaan yudikatif yang mempunyai watak ganda dalam memberikan respon terhadap nuansa politik sekarang ini yang mengakibatkan munculnya istilah “dinasti politik” dan bahkan “produk haram reformasi”, misalnya kekuasaan kehakiman seperti  Mahkamah Konsitusi.

Anwar Usman, sebagaimana telah diberitakan di banyak media, dianggap secara sah dan meyakinkan telah melakukan pelanggaran etik oleh Ketua Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi(MKMK), Jimly Ashiddiqi.

Pencabutan Anwar Usman sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi merupakan peristiwa pertama dalam sejarah perjalanan MK terkait pengenai putusan yang ia keluarkan.

Sumber: