BANNER ASKOLANI 2 PERIODE HL

Tindak Pidana Orang Dengan Gangguan Kejiwaan(ODGJ) Sebagai Korban atau Pelaku

Tindak Pidana Orang Dengan Gangguan Kejiwaan(ODGJ) Sebagai Korban atau Pelaku

Panji Al Islam, S.H--

ODGJ sebagai Pelaku Tindak Pidana

ODGJ yang melakukan tindak pidana/straftbarfeit, tidak dapat dihukum sebagaimana Pasal 44 KUHP yang berbunyi

"Barangsiapa yang melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungkan kepadanya karena jiwanya cacat dalam pertumbuhan atau terganggu karena penyakit penyakit tidak dipidana".

Diketahui bahwa tujuan pemidanaan adalah untuk memberikan efek jera terhadap setiap orang yang melakukan perbuatan pidana.

Ketika ODGJ melakukan tindak pidana dan kemudian dihukum sebagaimana hukuman orang yang sehat akalnya merupakan tindakan yang tidak memberikan dampak apa-apa.

Bahkan menurut maramis, seseorang tidak dapat bertanggungjawab adalah ketika tidak mampu menginsyafi perbuatannya yang bersifat melawan hukum.

Dengan ketiadaan penginsyafan maka seseorang itu tidak dapat menentukan kehendaknya.

Dalam ilmu hukum pidana, khususnya sebagaimana ketentuan yang diatur di dalam KUHP, terdapat alasan pengapus pidana, yaitu alasan pembenar seperti contoh algojo atas perintah jabatan(Pasal 50 KUHP) dan Pasal 44, Pasal 44 ayat (1) dan (2) yang pada intinya bahwa ODGJ tidak dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya karena mengalami gangguan kejiwaan atau disabilitas kejiwaan.

Dalam hukum pidana juga dikenal dengan unsur mens rea dan actus reus, mens rea yakni harus ditemukan unsur niat(opzet) yang apakah diikuti unsur kesengajaan atau tidak, dan kemudian dapat di identifikasi actus reus lebih mendalam melalui proses hukum formil.

Apabila ditinjau dari actus reus dan mens rea, maka keterangan dari ODGJ tidak dapat diterima disebabkan hilangnya akal dan terganggunya kejiwaan, padahal menurut KUHAP pengakuan dari pada pelaku adalah termasuk sebagai barang bukti, maka bukti atau keterangan pelaku tidak dapat diterima dikarenakan terganggunya kejiwaan dan hilangnya akal.

Maka langkah hukum secara represif, kebijaksanaan yang dapat hakim ambil untuk menentukan pidana bagi ODGJ adalah memberikan rehabilitasi terhadap pelaku ODGJ, memutuskan perkara agar terdakwa mendapatkan layanan kesehatan jiwa dengan limit waktu yang ditentukan.

Pada intinya, ODGJ tidak boleh mengalami kekerasan oleh pihak keluarga maupun penyidik demi perlindungan hak individu ODGJ.

Dari uraian di atas maka dapat disimpulkan kan bahwa hak ODGJ, kendatipun adalah sebagai pelaku tindak pidana tidak dapat dihukum sama halnya seperti orang normal.

Koridornya adalah kepastian hukum sebagaimana uraian hukum secara normatif di atas, serta perlindungan hukum sebagaimana prinsip Hak Asasi Manusia.*

Sumber: