BANNER ASKOLANI 2 PERIODE HL

Problematika Pembatasan Hak Beragama Oleh Konstitusi dan Pancasila

Problematika Pembatasan Hak Beragama Oleh Konstitusi dan Pancasila

Panji Al Islami, S.H--

BACA JUGA:Banjir Melanda, Adakah Solusinya?

Contoh misalnya, pada tahun 2022 kementerian agama telah mengeluarkan surat edaran pedoman menjalankan ibadah puasa ramadhan utamanya dalam hal pelaksanaan sholat tarawih.

Gus Yaqut, selaku menteri agama RI memberikan himbauan kepada seluruh lapisan masyarakat agar mengatur volume pengeras suara sebagaimana mestinya agar tidak mengganggu ketertiban umum dalam kehidupan masyarakat.

Terkait himbauan tersebut, menuai berbagai kontroversi bagi mereka yang tidak setuju atas himbauan demikian oleh kalangan anak muda.

Penggunaan pengeras suara tidak hanya digunakan dalam kegiatan sholat saja, tetapi digunakan dalam kegiatan tadarus Al-Qur’an hingga dalam satu daerah menggunakan pengeras suara untuk membangunkan sahur.

Dari uraian di atas terkait pernyataan sikap Konstitusi dan pemerintah dalam hal pembatasan hak kebebasan beragama, terdapat interpretasi yang dapat membawa Indonesia dalam sebuah negara Ketuhanan ialah pada Pancasila sila pertama dan turunannya tidak dapat dipisahkan keterkaitan antar sila satu dengan yang lainnya.

Artinya bahwa sisi filosofis sila pertama menyatakan bahwa "Ketuhanan yang Maha Esa" dan diikuti dengan sila-sila selanjutnya yang bersifat horizontal/Hablum minannaas memberikan kebebasan seutuhnya kepada setiap pemeluk agama dalam menjalankan setiap aktifitas keagamaan yang kemudian tidak keluar dari koridor hukum yang berlaku. 

Diantara kebiasaan penggunaan pengeras suara merupakan kultur local anak muda yang lestari akan kebersamaan dalam setiap momentum Ramadan dengan aktifitas random.

Kultur ini menjadi sebuah kebiasaan tahunan yang di dominasi kerinduan pada bulan suci Ramadan.

Di saat-saat muncul surat edaran menteri agama terkait pengaturan pengeras suara, dalam benak beberapa kalangan anak muda termasuk penulis seolah ingin memberikan pesan bahwa ingin mematikan semangat anak muda dalam beramal dan berkumpul di masjid dengan bertadarus.

Dimana hal demikian adalah perilaku dan atau aktifitas positif dengan harapan mengecilkan kemungkinan terjadinya potensi kenakalan remaja besar-besaran dan tindakan negatif lainnya.

Disisi lain, adanya pengaturan volume pengeras suara kemudian tidak serta merta tanpa alasan apalagi diskriminasi terhadap salah satu agama oleh pihak pemerintah.

Akan tetapi cenderung sebagai langkah preventif agar tidak atau mengurangi terjadinya pergesekan sosial, tidak hanya antar agama tetapi sesama agama itu sendiri.

Langkah pencegahan melalui surat edaran kementerian agama ini merupakan langkah hukum demi terciptanya ritme keharmonisan dalam kehidupan beragama.

Kecukupan waktu untuk istirahat dengan tenang dan etika sosial penggunaan pengeras suara merupakan prinsip penting dalam membangun kesadaran toleransi antar keduanya, karena Islam datang membawa ketenangan dan kedamaian bagi setiap pemeluknya.

Sumber: