Normalisasi Politik Kartel Sebagai Wujud Pengingkaran Negara Hukum dan Pancasila

Panji Al Islami, S.H.--doc
Negara hukum terkonfirmasi di dalam cita nilai-nilai Pancasila, yakni secara holistik, pada sila pertama, Negara hukum haruslah mengiringi sunnatullah.
Apabila mengambil dalil di dalam Alquran surah Ar-Rum ayat 30 yang artinya
"Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia".
Jadi, sudah termaktub di dalam Alquran bahwasanya manusia memiliki kecenderungan dalam kebiasaannya membuat kerusakan dimuka bumi, tentunya untuk menghindari hal tersebut, Allah berfirman dalam Qur'an surah Al-Baqarah ayat 30 bahwa Allah hendak menjadikan seorang Khalifah(pemimpin) dimuka bumi.
Seorang Khalifah diharapkan dapat menegakkan hukum dan keadilan di muka bumi ditengah-tengah manusia yang suka berbuat kerusakan dimuka bumi.
Demikian pula cita hukum dalam sila kedua hingga sila kelima, menghendaki tegaknya hukum dan keadilan tanpa tebang pilih, persatuan hingga prinsip pemerintahan yang baik/good government.
NORMALISASI POLITIK KARTEL
Kartel merupakan istilah dalam ilmu ekonomi dengan pengertian bentuk persaingan usaha yang tidak sehat dan dilarang dalam menjalankan aktivitas ekonomi demi kepentingan pemuasan pribadi atau kelompok.
Maka apabila dimaknai terpisah secara politis, atau disebut dengan politik kartel, politik kartel adalah tindakan jual beli suara kepada pemilih demi menduduki jabatan politik.
Dalam praktiknya, kartel politik sudah menjamur, tidak hanya dalam pemilihan presiden dan wakil presiden, pilkada bupati dan wakil Bupati atau walikota dan wakil walikota, tetapi juga sampai tingkat desa pun demikian sudah hampir menjadi tindakan yang lumrah dan lazim.
Terjadinya hal demikian disebabkan karena regulasi yang tidak memberikan efek hukum jera terhadap pelaku kartel politik, terutama dalam praktiknya money politics.
Tidak ada sanksi tegas yang bersifat penghukuman fisik terhadap para calon, seperti misalnya hukuman penjara.
Sebagai negara hukum, sebagai wujud kepastian hukum dalam politik, terdapat UU Pemilu, UU Pilkada, UU Kampanye, dimana UU tersebut memainkan perannya sebagai bentuk legitimasi terhadap pasangan calon atau calon.
Namun, seperti biasa, antara regulasi dan aplikasi lapangan tentu memiliki kesepakatan busuk dibalik layar, sehingga UU yang mengaturnya nampak tidak menjadi perhatian pasangan calon atau calon untuk di pedomani.
Pasal 523 ayat (1) UU Pemilu secara jelas memberikan sanksi tegas bagi yang melakukan aktivitas serangan fajar, namun pada prakteknya apabila kemudian dilaporkan atas kegiatan tersebut kepada Bawaslu, justru tidak ada tindak lanjut yang sampai kemudian membatalkan status sebagai calon, begitu jauh pula kalau seandainya rakyat dan hukum menghendaki untuk dipenjarakan.
Sumber: