Runtuhnya Marwah Mahkamah Konstitusi dan Legitimasi Cawapres Gibran Rakabuming Raka

Runtuhnya Marwah Mahkamah Konstitusi dan Legitimasi Cawapres Gibran Rakabuming Raka

Panji Al Islami, S.H--

Dalam dasar pertimbangan tersebut secara jelas menyatakan bahwa falsafah negara atau Pancasila dan UUD 1945 dijadikan sebagai dasar pertimbangan untuk menentukan keadilan demi menciptakan tata kehidupan berbangsa yang bersih dan tertib.

Apabila meninjau lebih lanjut terkait Putusan Mahkamah Konstitusi No. 90/PUU-XXI/2023, pada bagian ke II, kedudukan Hukum dan Kerugian Hukum Pemohon angka 7, bahwa seorang pemohon dalam perkara tersebut adalah mahasiswa aktif fakultas hukum Universitas Surakarta dan dalam kerugian yang di alami bahwa pemohon bercita-cita ingin menjadi Presiden dan Wakil Presiden.

Kemudian, pada angka 9 menyebutkan bahwa Pemohon juga memiliki pandangan tokoh sendiri yang menginspirasi dalam pemerintahan di era sekarang, yang juga menjabat sebagai walikota Surakarta di masa periode 2020-2025, yaitu Gibran Rakabuming Raka.

Secara gamblang dan sangat mudah dipahami bahwa, tujuan diajukan permohonan atas usia minimal pencalonan presiden dan wakil presiden ini adalah untuk memberikan legitimasi secara khusus kepada Gibran Rakabuming Raka sebagai putera mahkota Presiden Jokowi Dodo.

Kendati demikian pemohon bercita-cita ingin menjadi presiden dan ditambah pertimbangan contoh walikota/bupati yang berusia dibawah usia 40 tahun, tidak mengenyampingkan tujuan utama untuk menggolkan putera mahkota.

Diketahui bahwa objek permohonan dalam perkara ini adalah Pasal 169 huruf(q) UU No. 7/2017 tentang Pemilu, terkait batas minimum pencalonan presiden dan wakil presiden bersifat Open Legal Policy.

Artinya tidak ada pelanggaran norma terhadap diatas norma yaitu berkesesuaian dengan UUD 1945 sebagaimana norma yang dipermohonkan untuk diujikan.

Setting politik soal angka usia, begitu mewarnai bobroknya legitimasi Gibran Rakabuming Raka sebagai Cawapres.

Penggunaan mahkamah konstitusi ibarat lembaga politik yang kemudian hendak meloloskan putera mahkota merupakan tindakan, padahal kebijakan hukum terbuka(Open Legal Policy) melalui DPR sebagai pembentuk undang-undang dapat seketika mengubah norma yang dipermohonkan sebagaimana teknis pembentukan dan perubahan UU.

Sebagaimana Putusan No. 90/PUU-XXI/2023, majelis hakim mengabulkan sebagaian permohonan pemohon, yakni meloloskan capres dan cawapres dengan usia minimum 40 tahun dan pernah menjadi kepala daerah bupati/walikota dan atau gubernur melalui pemilihan umum.

Apabila menelusuri lebih lanjut terkait putusan tersebut, maka terjadi diskriminasi intelektual terhadap kalangan tertentu yang  memiliki kualifikasi unggul secara kepemimpinan, namun tidak dapat menjadi peserta pilpres(capres atau cawapres), hal ini disebabkan pembatasan dalam uraian kalimat “Pernah menjabat menjadi kepala daerah”.

Bertentangan dengan Pancasila sila kelima, Pembukaan UUD 1945 dan Pasal 28D ayat (3) UUD 1945 dimana pada intinya menyatakan bahwa merupakan keadilan sosial bagi rakyat Indonesia untuk dapat mengemban amanah menjadi pemimpin, dan setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintah.

Dengan adanya rumusan kalimat “pernah menjabat menjadi kepala daerah” seolah menutu peluang bagi para intelektual akademisi kampus, wirausaha, bisnisman maupun buruh untuk dapat mencalonkan diri menjadi capres atau cawapres kendati demikian melalui kebijakan politik.

Maka dapat diketahui bahwa putusan MK tersebut secara konstitusional telah melanggar falsafah negara dan UUD 1945, yakni keadilan dan kesempatan yang sama dalam pemerintahan di setiap kalangan dan golongan.

Kemudian sebagaimana wewenang Konstitusi sebagaimana diatas telah disebutkan bahwa “memutuskan perselisihan pemilihan umum”.

Sumber: