Jelaslah sistem ekonomi kapitalisme meniscayakan adanya liberalisasi migas, dengan memberi jalan bagi korporasi mengelola sumber daya alam yang sejatinya milik rakyat.
Dalam kapitalisme, tujuan utama adalah profit, yang sering kali mengesampingkan kepentingan sosial dan kesejahteraan umum.
Proses liberalisasi ini membuka peluang bagi perusahaan-perusahaan besar untuk menguasai pasar, termasuk sektor migas, yang seharusnya dikelola untuk kepentingan rakyat.
Ironinya, setelah kisruh kelangkaan LPG, mengutip dari tempo.co (8/2), Presiden Prabowo memerintahkan kembali kepada Menteri ESDM, Bahlil agar pengecer dapat menjual gas LPG.
Kebijakan itu diambil sebagai respons terhadap kelangkaan elpiji yang terjadi di masyarakat, di mana banyak warga kesulitan mendapatkan akses ke gas subsidi tersebut.
Namun, bagi pengecer yang ingin menjual LPG 3kg diminta untuk mendaftarkan diri menjadi agen sub-pangkalan secara parsial melalui agen resmi Pertamina dengan sistem One Single Submission (OSS.
Gaya kepemimpinan kapitalisme sekuler, baru hadir tatkala rakyat telah dibuat kesulitan.
Ketidakadilan dalam distribusi sumber daya kerap terjadi, dan pemimpin baru merespon jika sudah ada keluhan dari masyarakat.
Solusi Distribusi Migas
Berbeda dengan kapitalisme, Islam memberikan aturan sempurna terkait dengan hak-hak rakyat.
Negara dalam sistem Islam tidak boleh lalai dalam mengurusi kebutuhan rakyat. Sebagaimana pesan Rasulullah saw. dalam sebuah hadist,
"Imam/Khalifah itu laksana penggembala dan hanya ialah yang bertanggung jawab terhadap gembalaannya.” (HR Bukhari dan Muslim).
Hadis ini memberikan dorongan kepada para pemimpin untuk menjalankan amanah dengan sebaik-baiknya.
Para pemimpin memastikan dengan sebaik-baiknya kebutuhan rakyat terpenuhi.
Karena kelak, kepemimpinan harus dipertanggungjawabkan di hadapan Allah Swt.
Oleh karena itu, Islam memiliki mekanisme kebutuhan migas berikut distribusinya sebagai berikut: