Kebijakan Menyulitkan
Akhir-akhir ini, sejumlah wilayah di Indonesia mengalami kelangkaan gas LPG. Hal ini semakin diperparah dengan kebijakan baru pemerintah yang melarang penjualan LPG secara eceran.
Kelangkaan LPG dirasakan masyarakat di berbagai tempat, salah satunya seorang pedagang gorengan di Jakarta Selatan yang mengeluhkan kelangkaan LPG.
Kepala Dinas Tenaga Kerja, Transmigrasi, dan Energi (Disnakertransgi) DKI Jakarta, Hari Nugroho, mengungkapkan kelangkaan gas LPG 3 Kg di beberapa wilayah terjadi akibat pengurangan kuota LPG 3 Kg bersubsidi pada tahun 2025 (tempo.co, 4/2).
Sementara itu, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia menegaskan bahwa tidak ada kelangkaan LPG 3 Kg, melainkan adanya pembatasan pembelian untuk memastikan distribusi yang lebih merata dan tepat sasaran.
Menurutnya, jika sebuah rumah tangga biasanya membeli 10 tabung per bulan tetapi tiba-tiba membeli 30 tabung, maka akan dilakukan pembatasan.
Faktanya, kebijakan ini semakin menyulitkan warga. Sebagaimana terjadi pada Lansia bernama Yonih (62), warga Pamulang, Tangerang Selaran meninggal dunia diduga karena kelelahan usai mengantre LPG 3kg di Pangkalan, Senin (3/2).
Sementara di Kabupaten Sleman, Jogjakata, stok LPG 3kg ludes tak sampai satu jam di pangkalan.
Beberapa warga yang sudah antre lama harus gigit jari, lantaran tak kebagian LPG.
Ketimpangan Distribusi Energi
Kebijakan ini jelas menunjukkan dampak negatif dari sistem ekonomi kapitalisme, di mana kepentingan korporasi besar sering kali diutamakan, mengorbankan masyarakat kecil.
Dalam sistem kapitalisme, pemilik modal besar berusaha menguasai pasar, baik itu dari bahan baku hingga produk jadi.
Dalam konteks distribusi LPG, kita melihat bahwa hanya segelintir pemain besar yang bisa memanfaatkan pasar energi ini, sementara masyarakat kecil yang bergantung pada subsidi menjadi semakin terpinggirkan.
Sistem ekonomi ini, yang lebih mengutamakan keuntungan individu daripada kesejahteraan masyarakat, mengarah pada ketimpangan dalam distribusi energi.
Korporasi besar dengan sumber daya yang melimpah dapat dengan mudah mengontrol stok dan harga, sementara pedagang kecil atau pengecer yang menjadi perantara antara produsen dan konsumen sering kali tidak memiliki daya tawar yang cukup untuk bersaing.
Akibatnya, distribusi yang seharusnya merata dan adil, malah cenderung menguntungkan segelintir pihak yang memiliki kekuasaan ekonomi.