BANNER ASKOLANI 2 PERIODE HL

Antara Meritokrasi dan Politik Dinasti Presiden Jokowi

Antara Meritokrasi dan Politik Dinasti Presiden Jokowi

Panji Al Islami, S.H.--

BACA JUGA:Runtuhnya Marwah Mahkamah Konstitusi dan Legitimasi Cawapres Gibran Rakabuming Raka

Bahkan asusmsi negatif publik terhadap ketiga hakim yang berbeda pendapat tersebut akan terus menjadi sejarah baru bahwasannya ada Presiden dan Wakil Presiden, dimana berdasarkan keyakinan ketiga hakim tersebut telah melakukan kecurangan dalam proses penyelenggaraan Pilpres 2024.

Maka perlu dalam sidang Penyelesaian sengketa hasil pemilihan umum, dalam hal ini adalah Presiden dan Wakil Presiden tentunya sembilan hakim Mahkamah Konstitusi harus mencapai kesepakatan satu suara, terkait jabatan seseorang yang tidak boleh adanya perbedaan pendapat.

Maka dalam keputusan hakim tersebut mengandung muatan dissenting opinion yang akan terus menjadi konsumsi publik yang tidak sehat.

Artinya, akan terus memunculkan labeling dan atau opini liar terhadap calon Presiden terpilih misalnya "Presiden hasil kecurangan".

Dinasti politik dalam kekuasaan Presiden Jokowi, kendatipun di cover dengan prosesi pemilihan umum, dipilih oleh rakyat dan apalah itu namanya, namun dalam hal pengusungan calon tersebut cenderung menyandera konsep hukum dan keputusan politik yang tidak seimbang.

Sehingga asumsi liar publik terhadap pengusungan gibran dapat dibuktikan dengan berbagai pandangan politik dan hukum yang mengandung kebenaran yang kemudian melahirkan penetapan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi dengan diberhentikannya Anwar Usman sebagai Ketua MK dan adanya dissenting opinion putusan sengketa pilpres 2024.

Oleh karenanya tentu dinasti politik Jokowi tidak dapat dibenarkan dalam konsep negara hukum yang menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi pancasila.

Penyelenggaraan proses pemilu secara meritokrasi tentu mendorong setiap pejabat publik agar memberikan kesempatan yang sama kepada seluruh warga negara untuk dapat berkompetisi dalam pemilihan umum maupun pemilihan kepala daerah, tanpa memperhatikan kekayaan dan relasi kekuasaan, tetapi dengan prestasi akademik formal maupun prestasi dalam jabatannya sebagai pimpinan organisasi kepartaian dan atau dalam keorganisasian kepemerintahan maupun organisasi politik.

Politik meritokrasi tentu mendorong kepentingan konstitusional dan lebih terhormat daripada mengedepankan posisi anak pejabat untuk menjabat melalui pengangkangan konstitusi.

Dalam konteks ini maka sangat diperlukan peran partai politik dalam mengelola organisasi kepartaian, terutama membentuk para kader yang memiliki jiwa kepimpinan yang mengedepan etika dan moral dalam menyelenggarakan kepemerintahan, hal ini sebagaimana UU Partai Politik.

Sumber: