Namun demikian apabila terjadi tindakan dan atau pelaksanaan pemilu yang mengindikasikan kecurangan, maka mahkamah konstitusi memiliki kewajiban moral dan hukum untuk menyelesaikan perkara kecurangan pemilu yang tidak mengedepankan asas-asas pemilu.
Jadi, marwah atau kehormatan mahkamah konstitusi dewasa ini sedang tidak baik-baik saja semenjak eks Ketua MK Anwar Usman meloloskan keponakan/putera mahkota untuk dapat mengikuti kontestasi pilpres sebagai Cawapres dengan jalur yang tidak legitimate.
Menabrak kepentingan-kepentingan dinasi politik yang ingin di lestarikan secara konstitusional yang senyatanya inskonstitusional.
Hal ini diakui sendiri oleh Ketua Umum Partai PBB Yusril Ihza Mahendra sekaligus Pakar Hukum Tata Negara UI pada saat diwawancarai media, di Jakarta pada tanggal 17 Oktober 2023 yang disiarkan oleh KompasTV bahwa beliau menilai Putusan MK tersebut cacat hukum serta beliau tidak sarankan Gibran maju cawapres.
Mahkamah Konstitusi merupakan penjaga konstitusi, pengawal konstitusi dan apajadinya ketika kemudian terjadinya public distrust di kalangan masyarakat sipil atas melemahkan sistem demokrasi semenjak dinaikkannya putera mahkota sebagai cawapres melalui keputusan MK yang adalah bermuara dari kehendak politik.
Legitimasi Gibran sebagai cawapres, sebagaimana keputusan MK yang menggolkan saudara Gibran, tentu tidak bersih dari pengaruh nepotisme dan tidak terpenuhinya rasa keadilan bagi kaum muda dan atau generasi intelektual sekarang.
Pemohon sebagai mahasiswa fakultas hukum Universitas Surakarta secara khusus mengungkapkan nama Gibran dalam petitum permohonan sehingga permohonan pemohon syarat akan kepentingan politik untuk menjadikan saudara Gibran sebagai capres atau cawapres.
Sehingga pada kesimpulannya bahwa keabsahan Gibran sebagai cawapres melalui Keputusan MK tidak kuat akan penuangan norma-norma yang merinci konsep kesetaraan bagi capres atau cawapres untuk kalangan akademisi, pengusaha maupun tukang bakso, sehingga demikian syarat tersebut harus melewati seleksi elektoral kemenangan pilkada bupati/walikota maupun gubernur.
Padahal rumusan sila kelima menyatakan bahwa keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, artinya tanpa ada pengecualian untuk ikut serta bergabung dalam pemerintahan, baik secara suku, agama, ras maupun antar golongan.
Bersuaranya para akademisi dari 43 kampus dan organisasi, baik profesor maupun mahasiswa merupakan bentuk kegelisahan ruang intelektual dalam menjaga moral dan etika bangsa untuk menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi, yakni perlindungan hukum dan keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum.
Kampus memiliki beban moral untuk menjaga demokrasi agar tetap utuh, dan bahkan kampus seharusnya menjadi ikonik untuk tetap bersikap oposisi serta bersikap represif ketika terjadinya kedaruratan ketatanegaraan.
Maka, isu yang berkembang, fitnah keji yang bersebaran atas nama kampus yang mengincar kursi kekuasaan, kampus ditunggangi kelompok tertentu dan seterusnya merupakan sebuah narasi yang cenderung ingin membungkam dan mematikan sikap oposisi kampus untuk bersuara keras terkait semrawutnya demokrasi Indonesia sejak beberapa tahun terakhir.
Maka dari itu muara dari kegaduhan ini ialah diinisiatori oleh keputusan MK yang memberikan karpet merah terhadap putera mahkota yang kemudian diperjelas dengan narasi Bapak Jokowi "Presiden boleh kampanye".
Dari uraian diatas dapat dipahami bahwa sistem hukum dan kendali politik yang luhur sudah mulai rusak pasca Mahkamah Konstitusi dan Presiden Jokowi cawe-cawe untuk menduduki Gibran sebagai Cawapres melalui keputusan mahkamah konstitusi tanpa revisi undang-undang PKPU.*