Panji Al Islami, S.H.
Ketua Firma Banyuasin III
PANGKALAN BALAI, HARIANBANYUASIN.COM - Politik uang sudah tidak familiar lagi di telinga kita, apalagi ketika masanya mendekati hari Pemilihan Umum.
Politik uang juga tidak hanya ada di negara Indonesia saja, tetapi di negara maju seperti Amerika pun juga ada tradisi politik uang yang membudaya.
Istilah yang penulis buat pada subjudul terkait "Politik Rupiahtokrasi" merupakan salah satu penggabungan kata Rupiah dan Krasi/Cratos, Rupiah yang berarti mata uang nasional Indonesia sedangkan cartos/Krasi adalah kekuasaan, maka dapat disimpulkan sebagai kekuasaan politik nilai rupiah.
BACA JUGA:Presidential Threshold Dalam Optik Demokrasi
BACA JUGA:Republik Wajah Monarki
Istilah ini penulis buat atas dasar lahirnya istilah "Dolartokrasi" yang dicetus oleh Adrian Vermeule sebagai bentuk lahirnya politik uang dimasa Pemilihan Presiden di Amerika Serikat.
Artinya di negara maju sekalipun, uang tetap menjadi pilihan primer untuk menghantarkan diri di bangku kekuasaan.
Politik uang bukanlah persoalan yang dibolehkan dalam kontestasi politik, bahkan politik uang merupakan salah satu kategori tindakan yang masuk dalam tindak pidana korupsi dan atau korupsi elektoral.
BACA JUGA:Corak Pemilu Yang Merusak Sistem Demokrasi Yang Berkeadilan
BACA JUGA:Beratnya Kebutuhan Hidup Penyebab Marak ODJG di Lubuklinggau, Akhiri dengan Islam
Maka oleh karenanya politik uang selalu menjadi perhatian publik terkait pemberian dan penerimaan yang acapkali dianggap tabu padahal masuk dalam kategori delik pidana.
Menurut Ellis (2016:78) Indonesia pada masa sebelum reformasi, khususnya pada masa orde baru, prosesi Pemilu nampak hanya sebagai ceremonial belaka dimana politik uang jarang didengar dan dicatat karenanya seringkali Pemilu diwarnai dengan kekuatan kekuasaan demi untuk memenangkan partai pemerintah.
Kampanye sangat dibatasi sehingga banyak kandidat yang di diskualifikasi dan berbagai peraturan tidak diberlakukan secara seimbang dan proporsional terhadap lawan-lawan politik pemerintah.