BACA JUGA:Cara Islam Mewujudkan Rasa Aman
BACA JUGA:Zillenials, Cermat Sebelum Mencari Tontonan
Maraknya sering terjadi tindak pidana politik uang di akibatkan oleh politik hukum yang tidak stabil, artinya kebijaksanaan politik tidak menentukan arah peraturan hukum yang seharusnya dicapai secara sehat dan demokratis bagi masyarakat.
Sikap politik dinegara hukum yang acapkali menganggap bahwa peraturan hanya sebagai formalitas, bahkan peraturan dibuat secara multitafsir sehingga dapat mengakibatkan proses penegakan hukum(law enforcement) yang tidak jujur dan profesional.
Maka dari itu politik uang harus di tindak tegas melalui regulasi sebagai langkah preventif dan penegakan hukum sebagai langkah represif.
Apabila berbicara soal politik uang dalam pemilu, artinya kita melihat UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum(UU Pemilu) dalam sudut pandang hukum pidana.
Secara anatomis, tindak pidana pemilu terbagi dalam beberapa kategori. Pertama, tindak pidana yang dilakukan oleh penyelenggara pemilu, diatur dalam 24 Pasal, Kedua, tindak pidana pemilu yang dilakukan oleh masyarakat umum, diatur dalam 22 Pasal, Ketiga, tindak pidana pemilu yang dilakukan oleh penyelenggara negara atau pejabat publik, ditetapkan dalam 2 pasal , Keempat, tindak pidana pemilu yang dilakukan oleh korporasi, diatur dalam 5 Pasal, Kelima, tindak pidana pemilu yang dilakukan oleh pelaksana kampanye dan peserta pemilu terdiri atas 9 pasal , Kelima, tindak pidana pemilu yang dilakukan oleh pelaksana kampanye dan peserta pemilu terdiri atas 9 pasal Terkait tindak pidana dalam UU Pemilu, dapat di lihat dalam rumusan pasal sebagai berikut :
Pasal 523 ayat (1) berbunyi: setiap pelaksana, peserta, dan/atau tim Kampanye Pemilu yang dengan sengaja menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya sebagai imbalan kepada peserta Kampanye Pemilu secara langsung ataupun tidak langsung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 280 ayat (1) huruf j dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp24.OOO.OOO,OO (dua puluh empat juta rupiah).
Pasal 523 ayat (2) berbunyi: Setiap pelaksana, peserta, dan/atau tim Kampanye Pemilu yang dengan sengaja pada masa tenang menjanjikan atau memberikan imbalan uang atau materi lainnya kepada Pemilih secara langsung ataupun tidak langsung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 278 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan denda paling banyak Rp48.000.000,00 (empat puluh delapan juta rupiah).
Pasal 523 ayat (3) berbunyi: Setiap orang yang dengan sengaja pada hari pemungutan suara menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada Pemilih untuk tidak menggunakan hak pilihnya atau memilih Peserta Pemilu tertentu dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah).
Jadi tindak pidana politik uang secara nyata dan gamblang telah terkonfirmasi di dalam rumusan UU Pemilu.
Istilah rumusan pasal yang berbunyi "Dengan sengaja" merupakan indikasi adanya niat atau dorongan(mens rea) untuk melakukan tindak pidana, sedangkan elemen actus Reus tergambar dalam kalimat "Pada masa tenang, memberikan atau menjanjikan imbalan, kepada pemilih, baik secara langsung maupun tidak langsung" hal ini menggambarkan adanya tindakan pidana politik uang yang dilakukan oleh kalangan tertentu, baik pihak peserta pemilu maupun penyelenggara pemilu.
Maka dapat dipahami bahwa politik uang bukanlah tindakan yang tabu sehingga dibolehkan dalam aspek kebudayaan secara politik, tetapi ini sudah kemudian melukai rasa keadilan dan demokrasi itu sendiri atas persaingan tidak sehat.*