Turun Gunung
--
Arala Ziko
ketika membaca salah satu kalimat yg menerangkan anak2 pak Ong gk mau jadi ketua, sy sedikit tersentak, kok beda sekali dengan agama lapak sebelah yg seteru sama bapaknya gara gara gereja. mungkin mereka lupa, Tempat ibadah hanyalah wadah, namun tempat ibadah sesungguhnya ada di dalam hati, pikiran dan perilaku manusia.
Komentator Spesialis
Kalau alasannya kurang kompeten, sudah benar. Karena pada akhirnya semua harus dikelola secara profesional dengan kompetensi. Walaupun itu atas nama agama. Muhammadiyah misalnya, tidak mengenal pengelolaan atas aset ummat secara turun temurun. Hanya mereka yang kompeten dan jujur yang layak menerima beban amanat. Makanya tidak mengenal istilah "gus". Memang apa jaminan keturunan ? Wong anak Nabi saja bisa kafir kok. Contoh anak Nabi Nuh AS.
Jhel_ng
Ada banyak konflik yang terjadi. Kadang yang bisa menyelesaikan hanyalah sang waktu. Atau justru sang waktu lah yang memulai babak baru. Dalam setiap konflik kita berpikir kenapa bisa terjadi. Bagaimana itu terjadi. Jika sudah terlalu rumit, putuskan saja. Itu memang teori lama. Atau sekedar memutuskan untuk menggertak. Gertak sambal? Orang justru suka sambal. Selamat memeringati Hari Raya Imlek bagi yang akan merayakannya.
Jimmy Marta
Ketua organisasi itu perlu orang paling kaya di kelompok itu. Terutama untuk organisasi non keagamaan. Kalau yg kaya itu tidak bersedia, pilihan jatuh ke urutan berikut. Yg paling berkuasa, alias yg jabatannya paling tinggi. Ini berguna agar gk ada anggota yg berani macam2. Sebab yg dua itulah yg gk bisa dilawan. Kalau yg ketiga itu pasti gk boleh dipilih sbg ketua. Kecuali ketua untuk sesama alumninya saja...
Everyday Mandarin
Saya dari kecil sembahyang kelenteng. Izin serta komentar. Zaman Orba, kalau isi formulir, ditanya orang, "Apa agamamu?" Seperti kalkulator yang sudah diprogram, jawabnya, "Buddha (佛教" fojiao)". Itu zaman Orba. Untuk "agama" Tri Dharma, tak bisa tidak dikaitkan dengan Taiwan. Karena bisa dibilang Taiwan pusatnya Tri Dharma. China malah tidak krn byk yg ateis akibat jadi salah satu syarat Partai Komunis. Walau ga semua ya. Di Taiwan, mayoritas rakyatnya juga sembahyang di kelenteng. Dewanya sama sprt kelenteng² yang sering kita kunjungi di berbagai kota di Indonesia. Yang di Indonesia setelah zaman Gus Dur disebut agama Konghucu (儒教: rujiao). Walau kelenteng ybs ga ada patung Kongzi (孔子: Kongzi, nama Confucius dalam Mandarin), di Indonesia tetap disebut agama Konghucu. Krn orang² Taiwan, jika kelentengnya ga ada patung Kongzi, itu disebut agama Tao (道教: daojiao). Dan memang itulah yang mayoritas kita dengar dari orang Taiwan yang sembahyang di kelenteng. Agamanya apa? Tao. Bukan Konghucu. Apakah terjadi salah kaprah di Indonesia sini? Entah. Mgkn ada petinggi² Konghucu yang bisa menjelaskan detailnya. Asumsi saya pribadi: Bisa jadi di zaman Gus Dur, petinggi agama Konghucu yang duluan mendaftarkan ke pemerintah spy diakui sebagai agama. Sementara petinggi agama Tao tidak. Akhirnya pemerintah pun hanya mengakui Konghucu sbg agama resmi. Dan semua orang yang sembahyang di kelenteng Tao, akan menyebut dirinya beragama Konghucu juga. Maafkan jika asumsi ini sepihak.
Sumber: