Jalan Zulhas
Begitulah komoditas. Juru klasifikasi sangat menentukan. Kata-katanya bak hakim agung: inkracth! Mau dipotong 8 persen atau ditolak.
Alasan pemotongan banyak: tidak hanya kurang matang, juga terlalu matang. Ada yang berjamur. Rusak. Kosong.
Dalam sesapuan pandang saja juru grading langsung bertitah: potong sekian persen.
Petani selalu tidak ada pilihan: terpaksa menerima. Membawa kembali sawit itu hanya akan menambah sampah yang harus dibuang.
"Kita ini betul-betul penny wise, pound foolish," kata Tini.
Tunggu.
Pemerintah sudah berniat memperbaiki semua itu. Sudah ada program yang disebut percepatan ekspor. Setelah melarang, kini mempercepat. Dampak pelarangan itu begitu cepat. Dampak percepatan itu begitu lambat.
Dua jalur percepatan tadi menemukan realitas baru: harga internasional yang turun. Impor India menurun 10 persen. Mungkin kecewa pasokan tersendat akibat larangan ekspor dulu. Ia pindah ke sumber lain. Misalnya minyak kedelai. Atau jagung. Atau bunga matahari.
Atau mencari CPO ke negara lain.
Malaysia sudah kembali menerima TKI sawit dari Indonesia. Dalam jumlah besar. Untuk menaikkan produksi.
Perang di Ukraina memang masih seru. Mungkin baru reda setelah Presiden Jokowi ke Rusia. Siapa tahu: yang datang ini Ketua G-20.
Tapi harga minyak kedelai di Amerika memang sudah turun. Sampai 3 persen. Jangan-jangan sudah mulai resesi. Dan itu bisa jadi pukulan ketiga bagi eksporter. (*)
Sumber: