Hal ini akan menjaga keseimbangan pasar dan memastikan industri lokal terus berkembang.
Dengan demikian, iklim usaha menjadi kondusif dan mampu menyerap Benyak tenaga kerja.
Sistem ekonomi Islam mengatur kepemilikan harta, yaitu kepemilikan individu,umum, dan negara.
Dengan kejelasan status kepemilikan harta, negara megelola harta milik umum untuk kemaslahatan rakyat semata.
Islam melarang meyerahkan pengelolaan harta umum kepada individu atau swasta.
Dengan aturan ini pula, negara dapat membangun industri strategis, semisal pengilangan minyak, pengelolaan tambang, alutsita pertanian, dan sebagainya yang memungkinkan penyerapan tenaga kerja dalam jumlah besar.
Penyediaan lapangan tenaga kerja dalam industri strategis juga mendorong masyarakat meningkatkan keterampilan dan kemampuan.
Perindustrian diwujudkan agar mampu mengatasi seluruh kebutuhan dari rakyat negara Islam baik muslim maupun non muslim.
Negara akan memprioritaskan memproduksi kebutuhan dasar rakyat hingga terpenuhi melakukan ekspor barang ke negara lain.
Kebijakan ekspor bisa dilakukan jika kebutuhan dalam negri sudah terpenuhi dengan baik.
Di bawah naungan Islam, negara tidak akan menyerahkan nasib tenaga kerja kepada mekanisme pasar bebas yang dikendalikan oleh oligarki.
Seperti yang dijelaskan dalam kitab Nidzom Iqtishodi, karya Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani bahwa negara wajib membuka lapangan pekerjaan yang luas dengan berbagai mekanisme, seperti penyediaan modal usaha (iqtha’), pengelolaan sumber daya alam oleh negara, dan kebijakan fiskal yang adil, sehingga bisa mewujudkan lapangan kerja terutama bagi laki-laki yang memiliki tanggung jawab menafkahi keluarga.
Khilafah akan memastikan akad kerja antara pekerja dengan pengusaha dengan akad yang syar’i, sehingga tidak menzalimi salah satu lain.
Hal ini sebagaimana perintah Allah, agar pengusaha memperlakukan pekerjanya dengan baik.
Rasulullah saw juga bersabda,
“Saudara kalian adalah pekerja kalian. Allah jadikan mereka di bawah kekuasaan kalian.” (HR Al-Bukhari).