Problematika Pembatasan Hak Beragama Oleh Konstitusi dan Pancasila

Problematika Pembatasan Hak Beragama Oleh Konstitusi dan Pancasila

Panji Al Islami, S.H--

PANGKALAN BALAI, HARIANBANYUASIN.COM - Hak merupakan kewajiban yang melekat pada diri setiap orang yang bersikap options(pilihan) yang kemudian boleh diambil dan atau dinikmati atau tidak.

Akan tetapi tidak menutup kemungkinan terdapat intervensi negara dalam pilihan hak tersebut demi terciptanya suasana pelaksanaan peribadatan yang damai dan tidak ada gesekan sosial dibaliknya, dalam teori Hak Azasi Manusia, ini disebut sebagai Hak Derogable Right.

Di dalam konstitusi, sebagaimana Pasal 29 ayat (2) UUD 1945 juncto Pasal 22 ayat (2) UU No. 39/1999 mengkonfirmasi akan kemerdekaan setiap penduduk dalam memeluk agama dan menjalankan keyakinannya itu.

BACA JUGA:Harga Beras Melejit, Rakyat Menjerit

BACA JUGA:Indonesia Darurat Polusi Sampah, Islam Beri Solusi Nyata

Indonesia sebagai negara yang penduduknya bermayoritas memeluk agama Islam sekaligus sebagai seorang muslim yang taat dan beriman, maka sebagai wujud faktual bentuk ketaatan tersebut adalah dengan mengikuti instruksi-instruksi negara(pemerintah).

Salah satunya adalah menjalani ritual kegamanan sebagaiamana kadarnya yang telah di tetapkan oleh pemerintah melalui kementerian agama terhadap pelbagai surat edaran yang telah dikeluarkan oleh intitusi tersebut.

Perintah untuk mentaati pemerintahan yang sah kecuali mentaati dalam hal kemaksiatan dan kezaliman, telah termaktub di dalam Al-Qur’an surah An-Nisa (59) yang artinya “Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul(Muhammad) dan Ulil Amri(pemegang kekuasaan) di antara kamu”.

BACA JUGA:Mitigasi Bencana Banjir dalam Sistem Islam

BACA JUGA:Remaja Gaul, Harus Pacarankah?

Pembatasan hak beragama tentu tidak tertulis jelas secara ekspilist maupun implisit di dalam konstitusi, tetapi di dalam Pasal 29 ayat (2) UUD 1945 juncto Pasal 22 ayat (2) UU HAM menyatakan bahwa

“Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agama masing-masing dan untuk beribadah menurut agama dan kepercayaannya itu”. Rumusan pasal tersebut mengkonfirmasi bahwa, negara yang di dalamnya salah satunya adalah pemerintah, memiliki kuasa dan atau kewenangan untuk memberikan jaminan kemerdekaan tersebut dengan pengecualian dapat dibatasi hak tersebut manakala telah bersinggungan dengan hak orang lain".

Kemerdekaan atau kebebasan beragama yang negara berikan terhadap penduduk tidaklah mutlak secara de jure maupun de facto, tetapi hak tersebut dapat kemudian ada intervensi pemerintah ketika terjadinya social disorder di dalam masyarakat.

BACA JUGA:Love Scamming Mengintai, Bukti Negara Lalai Lindungi Rakyat

Sumber: