Pelaku judi online dapat dipidana berdasarkan Pasal 27 ayat (2) jo. Pasal 45 ayat (3) UU 1/2024 berupa pidana penjara maksimal 10 tahun dan/atau denda paling banyak Rp10 miliar.
Sanksi ini tidak membuat efek jera pelaku judol, justru semakin merajalela.
Bandar dibiarkan berkeliaran, situs judi yang diberantas bak mati satu tumbuh seribu.
Padahal, jika ditelisik lebih dalam perbuatan judi menimbulkan banyak bahaya, diantaranya mengancam stabilitas ekonomi.
Judi dapat menyebabkan kerugian finansial yang besar.
Tak ayal, para pelaku judi ini akan berbuat kriminal seperti mencuri, membegal, dan nekat mengambil pinjaman online (pinjol) berbunga tinggi.
Tak hanya itu, dampak judol juga merusak tatanan keluarga.
Kecanduan judi dapat merusak keutuhan rumah tangga, karena pengaruh buruk berupa minimnya keuangan, kestabilan emosi, dan konflik antar anggota keluarga.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, angka perceraian akibat judi di tanah air terus meningkat dalam lima tahun terakhir, alias pada periode 2018-2023.
Pada 2023, tercatat ada 1.572 kasus pasangan yang cerai karena alasan judi.
Oleh karena itu, tak sehat rasanya jika membiarkan situs judol merajalela.
Kondisi ini tak bisa dilepaskan dari penerapan sistem hidup sekularisme-kapitalisme yang menghalalkan segala cara untuk mendapat kekayaan.
Sumber harta tak dipedulikan dari mana asalnya, yang terpenting bisa meraup keuntungan sebanyak-banyaknya.
Islam Menghapus Bayang-bayang Judi
Syariat Islam mengatur keharaman judi. Allah Swt. befirman,
“Wahai orang-orang yang beriman! Sesungguhnya (meminum) khamr, berjudi, (berkurban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji yang termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu beruntung." (QS. Al-Maidah: 90).