BACA JUGA:Julid Mutakhir
BACA JUGA:Palestina dan Kemenangan Islam
Hal ini untuk memperlihatkan keabsahannya kepada rakyatnya dan dunia luar, sementara pada saat kebersamaan menghindari sejauh mungkin pertarungan nyata di antara kekuatan-kekuatan politik yang bersaing.
Di era orde baru, proses pelaksaan pemilu dan pengawas pemilu sangat memihak partai pemerintah sehingga pelaksanaan tugas pelaksana pemilu sangat bias.
Pada masa orde baru juga terdapat kekuasaan yang hegemonik, yaitu diantaranya kekuasaan legislatif dan yudikatif yang cenderung memiliki kesamaan sikap dalam penyelenggaraan pemilu sehingga proses pemilu pada masa orde baru mengalami banyak indikasi kecurangan oleh pihak kekuasaan yang tersistematis.
Demikian halnya tugas penegak hukum yang memiliki kecenderungan disetir oleh pihak penguasa pada masa orde baru sehingga menjadikan pembangunan ekonomi sebagai tujuan utama yang sangat membutuhkan stabilitas politik.
Sebagaimana doktrin yang dikemukakan Prof. Miriam Budiardjo, bahwa aliran pemikiran demokrasi yang paling penting adalah demokrasi konstitusional, maka ciri khas dari demokrasi konstitusional ialah gagasan bahwa pemerintah yang demokratis adalah pemerintah yang terbatas kekuasaannya dan tidak dibenarkan bertindak sewenang-wenang terhadap negaranya.
Pembatasan-pembatasan kekuasaan pemerintah tercantum di dalam konstitusi, maka dari itu sering disebut pemerintah berdasarkan konstitusi/constitutional government.
Terkait Demokrasi Konstitusional, sistem pemilu dewasa ini pada masa reformasi begitu banyak bias-bias politik dan kepentingan kekuasaan yang mendukung kejahatan nepotisme yang tidak menggambarkan wujud ketaatan etika maupun normative terhadap demokrasi konstitusional.
Utamanya ketika masa politik pemilu 2024, terlihat banyak terjadi hal-hal yang kemudian melanggar norma maupun etika dalam penyelenggaraan pemilu sehingga menimbulkan banyak persepsi masyarakat yang semakin liar dan bahkan berkurangnya keyakinan masyarakat terhadap beberapa lembaga negara.
Kekuasaan Yudikatif, merupakan garda terdepan dalam memberikan pengamanan terhadap proses penyelenggaraan pemilu, baik yang sifatnya preventif maupun represif.
Kendati demikian, dewasa ini terdapat kekuasaan yudikatif yang mempunyai watak ganda dalam memberikan respon terhadap nuansa politik sekarang ini yang mengakibatkan munculnya istilah “dinasti politik” dan bahkan “produk haram reformasi”, misalnya kekuasaan kehakiman seperti Mahkamah Konsitusi.
Anwar Usman, sebagaimana telah diberitakan di banyak media, dianggap secara sah dan meyakinkan telah melakukan pelanggaran etik oleh Ketua Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi(MKMK), Jimly Ashiddiqi.
Pencabutan Anwar Usman sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi merupakan peristiwa pertama dalam sejarah perjalanan MK terkait pengenai putusan yang ia keluarkan.
Artinya, melalui peninjauan secara cermat oleh Ketua MKMK bahwa benar-benar ada kesalahan secara nyata yang dilakukan oleh Anwar Usman, terkait putusannya yang memberikan keuntungan bagi pihak tertentu yang masih memiliki hubungan kekeluargaan.
Hal ini sebagaimana teori hukum yang berbunyi name iure in causa sua bahwa seorang hakim tidak boleh mengadilil seseorang yang memiliki hubungan kekeluargaan olehnya.