Alon Masz Eh
Namanya pohon buah mbah. Walau pake bh ga pake celana, tetap aja ga berbuah duren selama ga dibuahi...
Otong Sutisna
Waktu itu saya langsung protes ke teman yang ngasih saran, Bro....saran sudah saya laksanakan tapi kenapa itu pohon durian tetap ga berbuah. Teman malah balik tanya....kamu itu pakai bh siapa, apakah sudah menikah atau perawan ....saya jawab, ya jelas pakai punya istri saya, soalnya saya ga punya anak cewek, anak saya cowok semua.... Dia hanya bilang, oh .... pantesan, ganti bro ..... Bersambung....
Jokosp Sp
Mbah Kliwon ............cuma diketawain saja. Padahal ngarep mbecak bareng. Mbah kliwon jadi supirnya, Mbak Ulfa jadi penumpangnya. Muter keliling Embongan sampai surup.
Kliwon
Setuju Eyang. Abah kudu kita kasih contoh opini & analisis ala perusuh. Ntar kalo rubrik NoWay udah ada, Eyang harus ikut berkontribusi menyumbang tulisan. Ceritakan aja kisah Eyang kapan hari. Upaya membuat 100 pohon duren biar mau berbuah. Dengan cara mengikat 100 pohon duren dengan BH. Itu akan jadi kisah kolosal yang sangat epik & penuh perjuangan. Saya bayangin BH ibu² PKK satu RT bisa ludes demi menghangatkan 100 pohon durian di kebun. Trus panggil sini teman yang kemarin saranin ide briliant itu. Suruh ikut komentar sini. Biar tercerahkan para perusuh.
Pryadi Satriana
Bagaimana kualitas hakim kita? Saya ndhak tahu. Tapi saya punya pengalaman 'berurusan' dg hakim, pada suatu perkara perdata. Saya mengajukan 'bukti rekaman'. Hakim ke-1: "Tolong dibuatkan 'photocopy'-nya." Saya: "Maksud Yang Mulia 'transkrip'-nya?" Hakim ke-2: "Terjemahannya." Hakim ke-3: "Yang membuat harus 'penerjemah tersumpah' (sworn translator)". Saya: "Photocopy itu 'salinan' (copy) yg dibuat dg bantuan 'sinar' (photo). Terjemahan itu hasil 'alih bahasa' dari 'bahasa asing' ke 'bahasa ibu' atau sebaliknya. Transkrip itu 'salinan tertulis' (written copy) dari 'rekaman suara' (recorded material). Untuk membuat transkrip rekaman suara tidak perlu harus menggunakan jasa penerjemah tersumpah". Hakim ke-1: "POKOKNYA saya minta salinan tertulis rekaman itu". Saya tercenung. Istilah2 di atas adalah 'kata2 yg sering dipakai' (high-frequency words) di bidang ilmu hukum. Dari kejadian di atas, saya bisa menduga-duga 'wawasan dan literasi para hakim tersebut di bidang hukum'. Itu memprihatinkan. Hakim 'seharusnya' punya 'penguasaan bahasa yg memadai', mengingat argumentasi2 hukum pastilah menggunakan bahasa, bukan dg isyarat! Semoga hakim2 lainnya mempunyai wawasan yang lebih luas dan penguasaan bahasa yg memadai. Aamiin. Salam. Rahayu.
Mirza Mirwan