Jimmy Marta
Mbah koplak emang gk sakit. Dunia itu bener berputar...haha.
Kliwon
Alhamdulillaah.. Terima kasih pencerahannya Mbah. Saya tanpa sengaja & tanpa sadar juga suka bernafas sendiri. Berkat pencerahan dari mbah dokter, berarti memang sebaiknya saya melanjutkan tetap bernafas.
yoming AFuadi
Baru nemu kali ini, wartawan diancam "awas kalau kalian macam-macam, saya sikat kalian". Memangnya selama ini giginya wartawan kurang bersih apa ya? Koq sampai ada yang menawarkan untuk menyikat mereka ....he ....3
Johannes Kitono
Istilah Turun Gunung mungkin di populerkan oleh Kho Ping Ho ,pengarang Cersil top di Indonesia. Kalau ada masalah besar dan rumit yang tidak bisa diselesaikan maka biasanya Suhu atau Tjiang Bun Djin harus turun gunung memberikan solusinya. Maklum waktu itu belum ada internet dan WA. Persoalan yang sama terjadi di bidang Kesehatan. Prof Dr Puruhito ( 80 th ) ternyata belum bisa dengan santai menikmati masa pensiunnya. Masih harus *turun gunung* membantu operasi di Rumah Sakit untuk kasus kasus pembelajaran. Ini tentu akibat sistem pendidikan Specialis yang keliru, sudah lama terjadi dan dampaknya terasa saat ini. Sistem kaderisasi tidak berjalan karena dulu adanya ego sektoral. Menkes tidak perlu menengok kebelakang mencari kambing hitamnya.Langsung saja kasih solusi apa yang semestinya diperbaiki. Mau hospital based atau Univ based silahkan saja, yang penting bisa cepat hasilkan dokter spesialis yang kompeten yang belum bisa diganti dengan dr Robotic. Soal dana untuk beli alat mutakhir pasti bisa diatasi oleh RS Swasta atau Pemda. Bukankah alat modern umumnya hanya untuk penyakit orang kaya seperti : PJK, Stroke dsbnya. Penyakit rakyat seperti TBC, Diare, Malaria dan kurap tentu tidak memerlukan peralatan yang canggih. Bravo utk Prof Dr Puruhito dan Prof Dr Ario Djatmiko yang bersedia Turun Gunung membantu membereskan masalah Kesehatan Indonesia yang sudah Stadium Tiga.
Pryadi Satriana
Satu per satu orang2 terdekat meninggalkan kita, sehingga yg terakhir ada adalah Tuhan/Gusti/Allah/God/Tian/Hyang, dsb. Terserah sebutan Anda. Cara "menghubungi"Nya pun beda2. Ada yg "bengak-bengok pake TOA", dan kadang "merasa punya 'hak' mbrebek'i tetangga". Ada yg dengan 'laku eling kan waspada'. Ada yg berdoa di gereja. Ada yg berdoa ke kelenteng. Jadi ..., kalau Pak Dis diminta 'meletakkan simbol Dewa' di kelenteng, kalau Anda 'menghargai Pak Dis', mestinya Anda ya 'menghormati' baik Pak Dis maupun 'pihak kelenteng' yg telah 'memberi kehormatan khusus' kepada Pak Dis. Lha kalau Anda 'nggunem' yg dilakukan Pak Dis itu 'syirik'-lah ... 'musyrik'-lah ... itu berarti Anda 'ndhak kenal' Pak Dis, siapa pun Anda atau sedekat apa pun hubungan darah atau kekerabatan Anda dg Pak Dis. Dan lagi, Anda tentu sudah tahu bahwa hak penghakiman hanya ada pada Allah. Lha opo Pak Dis mbok anggep ora ngerti iku? Jadi, percuma Anda 'sok menasihati' Pak Dis tentang yg telah dilakukan Pak Dis di kelenteng itu, lha wong pada hakikatnya Anda telah 'menghakimi' Pak Dis! Wis ta, ra usah 'buang2 waktu' untuk 'menasihati' Pak Dis. Gak2 lek direken karo Pak Dis. Saran saya, nasihatilah diri sendiri - selama masih merasa jadi 'manusia' yg berdosa - sebelum menasihati orang lain.
Pryadi Satriana