Celakanya saya dituduh pula sebagai plagiator atas karangan puisi saya yang katanya kelewat sempurna buat ukuran murid SMP.
Maka tak ayal saya di vonis angka mati , "4".
Ya Tuhan ampunilah dosa guru Bahasa Indonesia saya itu dalam perjalanannya di alam baka.
Mungkin warisan genetika masih tersalur ke sanubari saya, dari kakek saya, dr Chen Lung Kit yang selalu menulis kuplet di gerbang masuk Pancoran Glodok, Batavia, di setiap hari ulang tahun Ratu Wilhelmina.
Ditambah karya mendiang ayah saya, dr Putrasatia, sebagai kolumnis kesehatan di surat kabar harian Indonesia Raya.
Mungkin gen inilah menjadikan naluri saya mempunyai inisiatif membuat majalah dwi mingguan Indonesia Media, sebuah media cetak dan online dengan www.indonesiamedia.com.
Sempat juga nama majalah itu jadi persoalan, karena seorang sarjana linguistik jebolan UI yang tinggal di Kanada, tiba-tiba menyurati saya, dan mengatakan itu salah bahasanya.
Harusnya Indonesian Media, karena mengingat kita di Amerika harus mengikuti tata cara penyusunan kata seperti itu. Saya sempat merenungi usulan itu.