Sobekan Lead

Minggu 15-01-2023,05:34 WIB

Er Gham

Dua kali pengalaman nyoblos calon anggota dewan, saya pilih yang saya kenal saja. Misalnya tokoh masyarakat atau artis. Jika tidak ada, saya pilih yang mukanya 'agak-agak' enak dilihat. Atau jika tidak ada juga, saya pilih yang namanya unik. Sederhana saja. 

 

Mirza Mirwan

Bung Jimmy, juga Bung Er Gham, belum sepenuhnya paham cara membagi kursi dalam sistem proporsional terbuka. Perasaan, saya pernah menjelaskan bahwa pembagian kursi menggunakan metode Sainte Lague. Jumlah suara dibagi dengan bilangan ganjil: 1,2,3,5,7, dst Bukan dengan bilangan pembagi pemilih (BPP) seperti pemilu 1999 dan 2004. Ilustrasinya begini. Dalam sebuah dapil dengan jatah 8 kursi, misalnya. Penentuan kursi pertama, perolehan suara tiap partai dibagi 1. Hasil bagi terbanyak yang memperoleh kursi pertama. Selanjutnya untuk kursi ke-dua, partai yang sudah memperoleh kursi tadi dibagi 3, sementara partai lain masih dibagi 1. Begitu seterusnya, yang sudah dapat 1 kursi dibagi 3, yang 2 kursi dibagi 5, yang 3 kursi dibagi 7. Sementara yang belum mendapat kursi tetap dibagi 1. Apakah ketua umum parpol boleh melemparkan suara pemilih yang menyoblos partai untuk caleg yang suaranya sedikit? Tidak bisa. Kewenangan menentukan caleg peraih kursi ada di KPU. Suara yang dibagi adalah akumulasi suara untuk partai dan untuk caleg. Dan KPU menetapkan peraih kursi adalah caleg dengan suara terbanyak di partainya. Kalau mendapat kursi lagi ya peraih suara terbanya berikutnya. Memang bisa terjadi, misalnya, amumulasi suara 250000 suara, tetapi peraih suara terbanyak hanya 40000 dan 25000. Kalau misalnya mendapat 3 kursi, kursi pertama untuk yang 40000, ke-2 untuk yang 25000, dan ke-3 untuk peraih suara terbanyak berikutnya. Ribet? Memang.

 

Mirza Mirwan

Orang luar memandang demokrasi di Indonesia sudah mapan (established). Setidaknya begitulah pandangan beberapa teman saya. Dada terasa mengembang, tentu saja. Bangga dong negara saya dipuji teman-teman dari negara lain. Tetapi di dalam hati saya "ngedumel". Pada kenyataannya demokrasi kita hanyalah demokrasi semu (pseudo-democracy) atau demokrasi seolah-olah (democracy as if). Betapa tidak. Dalam proses pencalegan, dari pendaftaran ke parpol saja sudah dikenai mahar. Artinya perlu uang. Dalam kampanye, untuk menangguk suara perlu amplop atau sembako. Tidak terang-terangan, tentu saja. Artinya perlu uang lagi. Proses demokrasi beraroma politik uang seperti itu jelas bukan demokrasi yang sebenarnya. Zaman orde baru tidak dikenal politik uang, tetapi ada intimidasi. Kalau tidak menyoblos beringin urusan dengan kelurahan dipersulit, misalnya. Politik uang dan intimidasi jelas mencederai demokrasi. Dalam demokrasi kita, dari dulu sampai sekarang, anggota DPR adalah wakil partai Bukan wakil Rakyat. Buktinya, untuk mensahkan sebuah RUU menjadi UU, misalnya, bukan mekanime voting yang digunakan. Yang dipakai adalah persetujuan fraksi. Kalau jumlah fraksi yang menyetujui anggotanya sudah mencapai 2/3 total kursi DPR, ya sudah...tok-tok-tok. Sah. Masih banyak cacat demokrasi kita. Sebanyak 575 anggota DPR yang sekarang sudah terlalu banyak, menurut saya, bila dibandingan dengan AS yang penduduknya 50-an juta lebih banyak. Eh, 2024 nanti malah bertambah lagi, 580.

 

Er Gham

Jika proporsional terbuka, apakah penentuan nomor urut berdasarkan besarnya 'MAHAR'? Tidak terkenal, tapi punya uang banyak, pasang di nomor awal, misal nomor 1 dan 2. Artis terkenal pasang nomor 3. Jika artis terpilih dengan suara terbanyak, dan masih menyisakan suara yang banyak, maka nomor 1 dan 2 itu bisa ikut lolos. Nomor nomor lain di bawah hanya sebagai 'penggembira' saja. 

 

Waris Muljono

Inilah satu satunya UU paling aktif jadi pembahasan : UU pemilu. Isinya bisa berubah, bahkan bisa berubah 180 derajat. Yg terdampak dengan uu pemilu ini? Hanya sebagian keciiiiiiiiiiiiil rakyat Indonesia , yaitu : presiden dan wapres, anggota dpr/mpr, dprd, Gubernur, bupati/walikota. Selain mereka, ga ngaruh....

 

Fa Za

Tags :
Kategori :

Terkait