Memang partai yang tetap mencalonkan. Partai pula yang menyusun nomor urut.
Tapi soal jadi anggota DPR atau tidak tergantung banyaknya suara yang diperoleh. Pun bila selisih suara itu hanya 6.
Seperti yang dialami Thoriqul Haq yang sekarang bupati Lumajang.
Sejak itu sering terjadi ''perang di dalam selimut''. Calon yang oleh partai sudah ''dilorot'' ke nomor bawah tetap bisa jadi anggota DPR.
Siapa yang populer dia/ia yang terpilih. Lebih parah lagi: uang jadi panglima. Kualitas nomor dua.
Mulailah terjadi politik uang. Kian lama kian menggila. Lalu jadi budaya.
Menjadi anggota DPR/DPRD sudah bisa dimatematikakan. Satu kursi perlu berapa suara. Satu suara perlu berapa duit.
Maka dengan menyediakan uang tertentu dapat jaminan terpilih.