Problem itu juga terkait dengan ”azas monoloyalitas” (satu dokter satu SIP atau satu tempat praktek). Yang pasti perubahan soal ini akan membuat banyak dokter (termasuk spesialis) akan protes. Sekarang SIP dibatasi hanya 3 tempat praktik/Rumah Sakit.
Pasti direktur RS akan ”senang” bila para dokter itu ”loyal” bekerja HANYA di RS nya saja. Dari pagi sampai sore/malam. Bahkan sekalian ”praktik” di RS nya itu juga. Itu memang ideal. Seperti di beberapa negara lain.
Di Singapore saya kenal beberapa spesialis khusus yang bekerja di lebih dari satu RS. Tapi di Jerman sejauh ini memang semua dokter ”loyal” hanya bekerja di satu rumah sakit, dari pagi sampai sore. Kebijakan ”monoloyalitas” ini memang ideal untuk keperluan pendidikan spesialis yang ”hospital based” (lagi ribut juga masalah ini), karena ”dokter-guru-pendidik” bisa konsentrasi membimbing calon spesialis.
Cuma saat ini jumlah pendidik inilah yang masih terbatas, hanya ada di kota besar. Sementara itu para “dokter pendidik” ini juga perlu “tambahan penghasilan” dengan punya SIP di RS lain. Jadi dilematis kalau harus ”monoloyal”. Terjadinya ”rebutan alat” juga karena sebab-sebab tersebut.
Semua itu menjadikan ”rumit” nya menjadi direktur RS Pemerintah (Vertikal, Pemprov, Pemkot/PemKab) atau bahkan direktur RS Pendidikan (masih ”RS Pemerintah”).
Entahlah bagaimana kelak kalau ada RS Swasta yang menjadi ”RS Pendidikan Spesialis” seperti wacana yang sudah mulai ada ke arah sana. Saya tahu ada RS Swasta yang punya CEO dan juga punya direktur RS, tapi yang ”kuasa” adalah CEO nya. Maaf saya tidak punya gelar “MARS” mungkin kurang tepat menyebut hal ini.
Mungkin kelak juga harus ada gelar “MAU” (Management Administrasi Universitas – Sekolah Rektor) untuk mengelola RS Pendidikan sebagai “milik” Rektor/PT.
Saya masih ingin komentar panjang, tapi rasanya hal ini sudah cukuplah sedikit memberi masukan untuk Anda, dari sudut pandang seorang pensiunan rektor, masih mendidik spesialis di RSUD (yang bukan Vertikal, dengan segala keterbatasan pengadaan alat-alat canggih.