Oleh : Ismawati
BARU - baru ini viral fenomena ABG Citayam. Sekelompok anak muda yang punya style khas mulai dari gaya berpakaian dan gaya bicaranya. Bahkan, warganet sampai melabeli gaya busana mereka dengan sebutan Citayam Fashion Week. Tak ayal, fenomena ini sampai disorot media luar negeri (Liputan6.com, 13/7/22).
Ada satu yang menarik dari fenomena ABC Citayam ini. Yakni salah satu remaja yang sering nongkrong di kawasan Dukuh Atas bernama Roy. Roy alias Aji Alfriandi seorang seleb TikTok yang menolak tawaran beasiswa sekolah.
Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf) RI Sandiaga Uno, berwacana agar ABG Citayam diberi beasiswa untuk melanjutkan pendidikan. Menurutnya, kalau mereka berbakat sebagai agen-agen promosi dari destinasi wisata, bisa dirangkul dan diberikan pelatihan. Mungkin nanti kita berikan beasiswa ke Politeknik Pariwisata. Hanya saja, tidak bagi Roy yang menolak tawaran pak Mentri dan memilih mencari uuang sebagai konten kreator.
Roy adalah satu dari sekian banyak remaja yang kehilangan jati diri mereka sebenarnya. Fenomena anak nongkrong telah mengalihkan perhatian mereka menjadi remaja yang bebas dan hura-hura. Nongkrong menjadi pelampiasan mereka kala penat menjalani hari. Namun sayang, hanya diwarnai dengan eksis dan bikin konten unfaedah.
Terlebih, banyak anak-anak remaja yang putus sekolah karena beragam alasan. Mereka jadi remaja yang lemah dan kurang ilmu pendidikan. Sayang, pendidikan dalam sistem kapitalisme bertujuan untuk mencari 'cuan'. Lihatlah ketika ditanya apa tujuan sekolah tinggi, jawabannya pasti ingin 'sukses'. Sukses yang dimaksud adalah sekadar kaya raya, punya uang banyak agar bahagia hidupnya.
Maka, wajar jika banyak orang melakukan apapun demi cuan. Sementara itu, saat peluang cuan gampang datang hanya dari konten. Tanpa modal besar, tanpa usaha tinggi, cukup joget viral, viewers naik, followers meningkat, endorsement masuk, cuan-cuan berdatangan.
Lebih dari itu, pendidikan hari ini hanya sekadar formalitas saja. Dikutip dari Republika.com (14/7), Sosiolog Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Ubedilah Badrun mengatakan bagi sebagian generasi Z mulai meyakini gelar tidak menjamin kompetensi seseorang. Gelar bukan segalanya, sarjana tidak menjamin kesiapan bekerja dan mampu menciptakan lapangan pekerjaan.