Adam Eva
--
Oleh: Dahlan Iskan
RAKYAT Jepang terbelah: haruskah biaya pemakaman mantan perdana menteri Shinzo Abe yang hebat itu pakai uang negara?
Lebih separo rakyat tidak setuju. Tapi sidang kabinet sudah memutuskan: dibiayai APBN. "Kalian terlalu cepat memutuskan itu. Harusnya minta persetujuan parlemen dulu," komentar di Yomiuri Shinbun.
Pemakaman itu akan dilakukan tanggal 27 September depan. Masih lama. Selama penantian itu pro-kontra terus berlangsung.
Bagi yang setuju punya alasan: Abe perdana menteri terlama memimpin Jepang. Ia berhasil mengatasi berbagai bencana. Ekonomi maju. Politik stabil.
Bagi yang kontra: Abe itu pemecah belah bangsa. Ia terlalu konservatif. Tidak ada istilah ''kita'' selama pemerintahannya. Yang ada ''kelompok kami'' dan ''kelompok mereka''.
Abe dikecam sampai ke kakeknya. Yakni ketika sang kakek jadi perdana menteri. Saat itulah Gereja Moon dari Korea Selatan difasilitasi masuk ke Jepang.
Abe sendiri dianggap terlalu dekat dengan Gereja Unifikasi (GU) itu. Ia sering memberikan apresiasi pada acara-acara besar GU.
Sebenarnya yang seperti itu juga biasa saja. Sering dilakukan politisi siapa pun. Untuk merebut suara. Donald Trump pun begitu. Demikian juga George Bush. GU juga giat sekali di Amerika.
Kebetulan kali ini bersamaan dengan peristiwa besar: penembakan pada Abe. Yang menewaskannya. Yang dilakukan pemuda pengangguran: Tetsuya Yamagami.
Yamagami begitu sakit hati pada Abe. Bahkan sampai pada kakek Abe. Maka ketika Abe berkampanye di kota kecil Nara –dua hari sebelum Pemilu legislatif– Yamagami menuju panggung yang sangat rendah itu. Dari belakang. Dor! Dor! Punggung Abe jebol. Rebah. Tewas.
Di depan polisi Yamagami menceritakan semuanya: kakeknya seorang pengusaha. Kontraktor. Ketua asosiasi kontraktor sipil di Osaka.
Sang Kakek punya dua putri. Dua-duanyi lulus dari universitas terkemuka di Osaka. Yang sulung tak lain ibunda Yamagami. Jadi ahli gizi. Yang bungsu menjadi dokter.
Si sulung lantas kawin dengan karyawan di perusahaan kontraktor ayahnyi. Sang suami lulusan Universitas Kyoto. Bahagia. Punya anak: Yamagami.
Hidup Sang suami lantas berubah total. Ia kecanduan alkohol. Depresi. Bunuh diri. Mati muda.
Ketika Sang suami kecanduan alkohol itulah ibunda Yamagami sangat tertekan. Dia sering mengalami siksaan fisik. Lantas, seingat Yamagami, ibunya aktif di Koseikai –gerakan bangun pagi. Disebut juga pesta bangun pagi. Bangun pagi adalah kemewahan di umumnya negara empat musim. "Di musim salju pun mama bangun pagi dan keluar rumah meninggalkan saya sendirian," ujar Yamagami seperti disiarkan Yomiuri Shinbun.
Tidak jarang Yamagami bangun pagi mencari Sang Ibu. Tidak ketemu. Ia keluar rumah mencari Sang Ibu. Dingin sekali di luar. Tanpa alas kaki. Sambil menangis.
Yamagami akhirnya harus berhenti sekolah. Ibunya bankrut total. Semua harta ibunya disumbangkan ke GU.
Paman Yamagami mengatakan, tulis Mainichi Shinbun, bahwa sumbangan itu mencapai setidaknya Rp 1,5 miliar. Ditambah asuransi jiwa suaminyi pun dia sumbangkan ke GU. Juga dari hasil penjualan rumah.
Model donasi seperti itu sudah lama dikeluhkan di Jepang. Banyak yang mengadukan sebagai penyebab kesulitan rumah tangga.
Pengaduan itu meningkat sampai 12 kali setelah pembunuhan Abe.
Salah satu lembaga yang menangani pengaduan jenis itu adalah National Network of Lawyers against Spiritual Sales.
Pekan lalu tiga orang pengacara di Tokyo membeberkan bagaimana praktik ''marketing spititual'' ala GU itu dilakukan di Jepang.
Disebutkan, aktivis dari GU mengumpulkan iklan duka cita. Dicatat nama yang meninggal. Siapa istri atau anaknya. Dicari alamatnya.
Rumah mereka itu diketok. Diucapkan kalimat duka cita. Lalu ditawari jasa agar arwah almarhum bisa bahagia di surga.
Kadang diceritakan juga bahwa roh almarhum baru saja memberitahukan kondisi yang kurang baik yang ia alami di alam sana. Lantas sang roh minta agar diselamatkan.
Marketing akhirat seperti itu tentu mudah. Tidak diperlukan bukti. Yang harus dimiliki adalah kemampuan meyakinkan sasaran marketingnya.
Bahkan awalnya dulu sampai diibaratkan bahwa Korea itu Adam. Jepang itu Eva (Hawa). Yang sama-sama berbuat dosa. Lalu menurunkan dosa kepada anak-cucu. Semua itu harus ditebus. Lewat GU yang mengklaim punya otoritas sebagai perantaranya.
Pendiri gereja Moon, memang mengaku bahwa dirinya utusan Tuhan. Dan banyak yang percaya. Tergiur. Terhipnotis. Uang pun mengalir jauh sampai ke sana.
Yamagama kini di tahanan polisi. Sang Ibu juga tidak punya rumah lagi. Dia tinggal di rumah pamannyi. Sorga yang dibeli. Neraka yang dicari. (*)
Sumber: