Lebih Sulit
Oleh: Dahlan Iskan
ADA pertanyaan di Google. Tentu dalam bahasa Inggris: mengapa harga minyak sawit jatuh?
Jawab Google: "Harga CPO turun lebih dari USD 300/ton akibat perubahan kebijakan di Indonesia yang mendorong ekspor dengan cara mengurangi pungutan-pungutan ekspor. Besarnya produksi sawit Indonesia akan terus memberikan tekanan pada harga CPO".
Jawaban itu kelihatannya dicomot dari publikasi Fitch Rating, dengan topik harga CPO akan terus turun.
Maka Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan, dalam kapasitasnya sebagai ketua umum Partai Amanat Nasional (PAN), bisa membagi-bagi minyak goreng di Lampung. Dengan harga hanya Rp 10.000. Itu untuk 2 liter. Pun uangnya tidak usah dibayarkan. Ia minta disimpan saya di kantong masing-masing. Sudah ada yang membayari: putri Zulkifli yang kelihatannya akan maju sebagai calon anggota DPR. Sang Putri berdiri dari kursi. Tepuk tangan menggemuruh.
Anda sudah tahu siapa Sang Putri: Futri Zulya Savitri. Yang lebih dikenal sebagai istri Mumtaz Rais. Yang kian terkenal setelah Februari lalu mengajukan gugatan cerai. Gugatan itu rupanya tidak terlalu lancar. Sampai sekarang masih berproses.
Futri lulusan bisnis manajemen ITB yang lantas melanjutkan S-2 di Australia. Ia anak pertama. Dari 4 anak Mendag. "Pilihlah dia. Tiap dua bulan ada begini lagi," kata Mendag.
Rupanya tidak hanya Iduladha yang cepat datang lagi hanya selisih waktu satu hari. Harga minyak sawit juga begitu cepat berputar. Dari roda atas ke bawah. Hanya lewat satu kebijakan sapujagad: lewat publikasi resmi video kepresidenan.
Sejak larangan ekspor itu, stok CPO memang melimpah. Untuk menggalakkan ekspor lagi perlu waktu. Mungkin lebih panjang dari yang disangka. Harga CPO turun sekitar 35 persen. Dalam sekali. Itu membuat eksporter kurang bersemangat.
Ada juga penyebab lain. Waktu ekspor itu dilarang banyak kapal mengalihkan diri ke negara lain. Kapal itu mahal. Tidak boleh menganggur. Pun hanya satu hari. Apalagi sampai 1 bulan. Kini tidak mudah lagi mencari kapal untuk ekspor. Setidaknya begitulah keterangan Sekretaris Jenderal Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Eddy Martono kepada media pekan lalu.
Dengan stok CPO yang melimpah di dalam negeri Anda pun tahu: harga buah sawit jatuh. Giliran petani sawit kelimpungan. Suara petani dari seluruh penjuru kebun seragam: ampun-ampun. Tidak ada lagi petani yang bisa menjual di atas Rp 1.000/kg. Bahkan ada yang hanya Rp 500/kg.
Padahal harga pupuk tidak bisa turun. Harga pupuk selalu terkait dengan harga minyak bumi dan gas –yang kini lagi tinggi-tingginya.
Petani sawit pernah berterima kasih atas bantuan sertifikasi lahan. Dengan demikian lahan bisa dijaminkan ke bank. Petani pun banyak yang ambil kredit di bank. Itulah yang mereka takutkan dari penurunan harga ini. Kalau terlalu lama. Ada tanggungan bank.
Tapi gambaran dari Eddy Martono belum ada yang menggembirakan. Justru sebaliknya: "Sekarang ini ada 68 pabrik kelapa sawit yang berhenti berproduksi," ujar Eddy.
Syukurlah Mendag Zulkifli terus menyerukan agar PKS membeli buah sawit dengan harga Rp1.600/kg. Petani masih bisa berharap siapa tahu anjuran itu manjur. Tapi petani juga tahu. Seruan itu hanya seperti melukis di air keruh. Lukisannya tidak jadi keruhnya yang bertambah.
"Harga beli Rp 1.600 itu baru bisa terjadi kalau harga CPO Rp 8.000/kg. Padahal harga CPO sekarang hanya Rp 6.000," ujar Eddy.
Maka begitu sulit menyeimbangkan antara kepentingan konsumen minyak goreng dan petani produsen sawit. Hanya suara konsumen minyak goreng biasanya lebih nyaring tersiar di media.
Anda pun masih ingat: tidak mudah menurunkan harga minyak goreng waktu itu. Sampai membawa korban dicopotnya menteri perdagangan yang Anda melarang saya menyebutkan namanya itu.
Kini, memperbaiki harga jual petani sawit kelihatannya lebih sulit lagi. Mungkin tidak akan bisa hanya dengan satu video. Perlu lima. Lima-limanya sapujagad. Ada unsur harga pupuk dan kimia di dalamnya. Jangan-jangan sampai perlu diterbitkan kartu MyPupuk bagi petani sawit.
Harga pupuk memang sulit diturunkan. Sepanjang kita masih terus mengandalkan pupuk kimia, harganya akan terus terkait dengan harga migas.
Saya sudah bicara dengan banyak petani. Juga pengusaha. Sejauh ini belum muncul usulan yang cespleng –yang bisa memperbaiki harga beli buah sawit dalam waktu singkat. Semua muara masih ke ekspor itu.
Apakah ada eksporter yang ngambek? Masih marah dengan larangan tiba-tiba itu? Sampai ada yang harus jadi tersangka? Kelihatannya tidak. Keinginan ngambek selalu kalah sama cuan. Jadi memang lebih sulit. Apalagi kali ini, soal petani sawit ini, kita tidak bisa menyalahkan perang di Ukraina. (*)
Sumber: