Lihatlah bagaimana para pengusung ide moderasi beragama (Islam moderat) memperlakukan kaum muslim yang hendak menerapkan syariat Islam kafah.
Mereka memberi “label” radikal dan ekstrem, dimusuhi, dipersekusi, pengajiannya dibubarkan, dan lainnya.
Sedangkan kepada nonmuslim, mereka begitu hormat, sangat lembut dan santun, rumah ibadahnya dijaga, ikut merayakan hari raya bersama-sama, dan sebagainya.
Kita juga bisa saksikan, betapa mereka yang mengaku moderat ini memperlakukan Paus Paulus—yang merupakan pimpinan umat Katolik sedunia—dengan lemah lembut, bahkan kepalanya dipeluk dan dicium oleh Imam Besar Masjid Istiqlal.
Sementara itu, saat seorang ulama besar dunia, Zakir Naik, datang ke Indonesia, ia dicurigai, dianggap radikal dan intoleran, dan sebagainya.
Sungguh jauh berbeda perlakuannya. Padahal, Allah memerintahkan sebaliknya, yaitu agar keras kepada kaum kafir dan lemah lembut kepada sesama muslim (lihat QS: Al-Fath [48]: 29).
Terlebih lagi, Kurikulum Cinta mengajarkan bahwa segala hal yang 'dianggap' memicu konflik dan permusuhan antara muslim dan nonmuslim harus dibuang jauh-jauh.
Di antaranya adalah penerapan syariat Islam oleh negara.
Oleh karena itu, Islam cukup diterapkan sebatas nilai-nilainya, tidak perlu syariatnya.
Padahal, menjadi muslim itu haruslah kaffah (lihat QS: Al Baqarah (2): 208)
Walhasil, penerapan Kurikulum Cinta akan melahirkan generasi muslim sekuler, yang mencukupkan diri taat kepada Allah hanya dalam masalah ibadah ritual, seperti salat, puasa, zakat dan haji (hubungan dengan Allah).
Tidak taat, pada hubungan dengan manusia dan alam.
Disinilah, upaya kamuflase moderasi beragama dalam Kurikulum Cinta.