Sungguh, diamnya penguasa-penguasa muslim atas kekejian Zionis adalah ironi ambigu.
Sekat nasionalisme menghalangi pemimpin negeri muslim untuk bergerak nyata membela Palestina dengan tentara.
Nasionalisme membagi-bagi negeri kaum muslim, sehingga tak ada lagi kekuatan, dan justru semakin menguatnya penjajahan.
Akibat nasionalisme, kaum muslim terus dalam kubang derita tak berujung.
Sementara itu, pemimpin negeri muslim tak ada upaya pasti untuk membebaskan Palestina dari jerat penjajahan.
Kalaupun ada, itu hanya sekadar kecaman dan pengiriman bantuan berupa makanan atau obat-obatan saja.
Bukankah yang dibutuhkan dari penjajahan keji berulang ini adalah dengan kehadiran tentara?
Sebagaimana kekejian Zionis, dengan persenjataan lengkap membantai saudara-saudara muslim kita di Palestina.
Dengan demikian, umat harus dibangunkan kesadarannya, untuk selalu bersuara menyerukan penyelesaian hakiki atas Palestina.
Terkhusus, menyerukan untuk menuntut para pemimpin negeri muslim, segera mengirimkan tentara untuk berjihad.
Rasulullah Saw. mengingatkan kita dalam sebuah hadist bahwa sesama muslim bagaikan satu tubuh.
“Perumpamaan orang-orang mukmin dalam hal saling mencintai, menyayangi, dan mengasihi bagaikan satu tubuh. Apabila ada salah satu anggota tubuh yang sakit, maka seluruh tubuhnya akan ikut terjaga (tidak bisa tidur) dan panas (turut merasakan sakitnya." (HR. Bukhari dan Muslim).
Melalui hadist ini, Rasulullah Saw. memberikan peringatan bahwa sebagai seorang muslim, kita tidak boleh mati rasa.
Kepedulian kita dengan terus bersuara, membangunkan para pemimpin negeri muslim untuk membebaskan Palestina.
Kehadiran militer muslim sangat dinantikan, bukan sekadar pengiriman utusan perdamaian, seperti yang dilakukan PBB.
Hanya kecaman, tanpa aksi nyata untuk membebaskan Palestina.