Itu belum cukup. Sri Lanka perlu uang setidaknya USD 5 miliar untuk bisa keluar dari kebangkrutan. Belum ada gambaran nyata dari mana bisa dapat dana sebanyak itu.
Yang sudah terpikir: menjual perusahaan negara Sri Lankan Airlines. Tidak seberapa tapi apa hendak dikata.
Maka kini di Sri Lanka tidak ada guna lagi punya mobil. Tidak bisa dipakai. Tidak ada lagi yang jualan bensin untuk mereka. Kendaraan umum masih bisa dapat jatah, tapi harus antre berhari-hari.
Semua mobil dan sepeda motor milik pribadi, praktis harus ditinggal di garasi. Sampai 10 Juli nanti. Tanggal itu pun belum pasti. Belum ada gambaran harus impor BBM dari mana dan dengan cara apa.
Sekolah-sekolah diliburkan. Agar tidak perlu naik kendaraan.
Listrik juga mulai byar-pet. Digilir. Diutamakan untuk rumah sakit. Bahan pangan juga menipis. Inflasi sudah mencapai 39 persen.
Sri Lanka masih punya utang sekitar USD 50 miliar. Kepada Tiongkok saja USD 5 miliar –10 persen dari seluruh pinjaman. Tiongkok sudah memberi sinyal pembayaran bunga dan cicilan bisa dirundingkan.
Rajapaksa tidak mau mundur. Ia hanya mau mengganti perdana menteri –yang kakak kandungnya sendiri. Ditunjuklah jagoan lama: Ranil Wickremesinghe. Ranil diminta merangkap jabatan menteri keuangan. Sang Menkeu langsung kembali menaikkan pajak. Yang PPN dari 8 persen naik ke 12 persen. Tidak kembali ke 15 persen, tapi sudah satu persen lebih tinggi dari PPN kita –setelah barusan naik jadi 11 persen.
Yang pajak pendapatan dibalikkan lagi ke 30 persen, sama seperti kita sekarang. Kini Ranil mondar-mandir ke Amerika: ke IMF. Para pejabat IMF pun memanggilnya dengan nama depannya mengingat begitu sulit mengeja nama belakangnya.
Usia Ranil sudah 73 tahun. Ia ketua partai oposisi yang dirangkul jadi perdana menteri. Ini untuk kali ke 5 Ranil jadi perdana menteri. Perjuangannya ke IMF begitu berat. IMF tidak mudah mengulurkan bantuan. IMF mengenakan banyak syarat –termasuk mengembalikan kenaikan pajak tadi.
Kemerosotan kehidupan berjalan cepat. Bantuan penyehatan begitu lambat. Covid dan perang di Ukraina ibarat dua pukulan bagi negara yang sudah sempoyongan.
Kisah nestapa Sri Lanka masih belum ada titik cahaya. Yang demo dan protes pun sudah tidak seberapa. Sudah kalah dengan jumlah yang antre untuk mendapatkan paspor di kantor imigrasi: mereka ingin indah je luar negeri. Semua sudah tidak berdaya. Termasuk pemerintah dan penentangnya.
Baru 12 tahun Sri Lanka aman. Tidak ada lagi perang besar antar golongan di sana. Kini muncul musuh baru yang lebih berat untuk semua golongan.
Mendung tebal kini menggelayut rendah di atas Sri Lanka. Disertai petir dan puting beliung. Tapi mendung itu tidak akan selamanya di sana. "Tidak pernah ada mendung yang setebal apa pun menetap di satu tempat". (*)